Berebut Bisnis Menggiurkan Sarang Walet

TN, trustnews.id
Rabu, 18 November 2020 | 10:21 WIB


Berebut Bisnis Menggiurkan Sarang Walet
Foto: istimewa
Bisnis sarang walet menggoda banyak pihak. Sempat hampir dilarang ekspor oleh CITES dan menjadi sumber pendongkrak pendapatan daerah. 

Berbincang dengan Boedi Mranata, tak ubahnya mendengar ‘podcast’ yang membahas segala hal mengenai walet dan barang tentu dengan sarang burungnya, mulai dari sejarah, manfaat, hingga potensi ekonomi yang menggiurkan. 

Harap maklum,  pengalamannya yang panjang dalam bersentuhan dengan burung walet dan keberhasilannya mengubah pola budidaya dari tradisional (termasuk mitos dan hoki soal walet) menjadi penangkaran (modern), membuatnya dijuluki ‘Raja  Walet’.

“Dulu orang mengambil sarang walet itu di goa-goa, lalu dijual karena harganya tinggi. Lama-lama orang jadi takut burung walet akan musnah kalau sarangnya diambilin terus. Ributnya ra karuan, akhirnya  CITES (Convention on Internasional Trade in Endangered Species of Wild Fauna) mengeluarkan usulan larangan Indonesia untuk ekspor sarang walet sampai ada regulasi berikutnya,” ujar Boedi yang juga  Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Sarang Burung Indonesia (PPSBI)  kepada TrustNews.

Dari sisi negara, lanjutnya, Indonesia jelas dirugikan dengan pelarangan tersebut. Ini dikarenakan, Indonesia, bahkan sampai saat ini sebagai negara penghasil sarang walet terbesar di dunia. Bayangkan saja, di tahun 1996, Indonesia sudah mengekspor sarang sekitar 200 ton/tahun. Buntutnya, ribuan peternak bangkrut dan puluhan ribu pekerja bakalan nganggur.

“Kita yang hidupnya dari walet, bilang ini harus dilawan. CITES itu nggak ngerti kok bisa bilang walet di eksploitasi. Akhirnya kita sepakat buat workshop di Surabaya. Kita panggilin ahli-ahlinya dari seluruh dunia untuk bicara,” tuturnya.
Di workshop inilah, lanjutnya, para peternak walet bicara dan meyakinkan kepada dunia. Bahwa, peternak walet Indonesia sangat perduli akan kelestarian alam dan keberlanjutan burung walet. Indonesia sudah sejak lama tidak  hanya  mengambil sarang walet dari goa-goa tetapi sudah menerapkan penangkaran walet di rumah-rumah.

Kita terpaksa membuka rahasia ini (penangkaran)  biar dunia tahu dan Indonesia bisa bebas dari larangan ekspor. Sebab dalam pelarangan itu, CITES tidak membedakan sarang walet dari goa dan sarang walet hasil penangkaran. CITES main pukul rata saja. Kalau di goa diambilin jelas akan habis, tapi kalau penangkaran tentu akan terus ada,” paparnya.

Bahkan, para peserta workshop diajak ke Bangil (Pasuruan) dan Sedayu (Gresik) untuk melihat langsung penangkaran sarang walet rumahan. Hasil workshop tadi  dibawa ke konferensi CITES berikutnya di Zimbabwe, 1997.

“Dalam konfrensi ini usulan pelarangan ekspor dari Italia ditolak dan membebaskan perdagangan sarang walet seperti semula,” ujar Boedi yang ikut delegasi Indonesia dalam konferensi tersebut.

Rahasia itupun akhirnya diketahui oleh dunia, bahwa walet sudah dilakukan penangkaran di Indonesia. Hanya saja, menurutnya, walet punya keunikan tersendiri. Meski bisa melalui penangkaran, namun walet tidak bisa dimasukkan dalam kelompok jenis peternakan sebab tidak diberi makan dan area jelajahnya cukup luas  tidak berbatas bahkan burung burung walet tersebut bisa minggat tidak kembali pulang lagi ke tempat penangkarannya.

“Sampai sekarang tak ada kata yang tepat untuk walet itu masuk peternakan atau apa, oleh karena itu dunia internasional memasukkannya sebagai jenis hewan liar. Di Indonesia, masuk ke kehutanan. Tapi masuk juga ke pertanian dengan keberadaan Sertifikat Sanitasi Produk Hewan (KH-12) dan Sertifikat Pelepasan Karantina Hewan (KH-14). Menetapkan penangkaran walet masuk katagori mana saja sampai sekarang belum jelas,” ujarnya terkekeh. 

Keributan soal itu, menurutnya, sarang walet dianggap merupakan bisnis yang besar dan menggiurkan padahal bisnis ini masih sangat beresiko dan keberhasilan peternakan walet hanya berkisar dibawah 10% dari rumah-rumah yang dibangun! Banyak investor yang tidak berhasil dan bangkrut. Tetapi sebab walet mahal harganya, Doktor Biologi Hamburg University, Jerman, ini mengistilahkan, “Semua pengen ngatur”. Tak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah pun kesengsem untuk menambah pendapatan daerahnya melalui pajak sarang burung walet. 
“Tiap daerah berlomba lomba memungut pajak sarang walet untuk meningkatkan pendapatan daerahnya dan tiap daerah berbeda pola pendeketannya. Ini yang bikin teman-teman peternak pusing,” pungkasnya. (TN)