Pandemi Covid-19 Kembali ke Jati Diri Bangsa

TN, trustnews.id
Senin, 24 Agustus 2020 | 08:59 WIB


Pandemi Covid-19 Kembali ke Jati Diri Bangsa
Efri Jhonly, Direktur Utama Propertindo Utama
Pandemi menyebabkan krisis pangan dunia. Indonesia sebagai negara yang dilimpahi tanah subur dan laut yang luas, menjadi modal kebangkitan. 

Pandemi Covid-19 yang menjadi mimpi buruk bagi hampir seluruh negara di dunia, tidak saja menyeret ke jurang resesi. Juga menyebabkan krisis pangan sebagai dampak dari kebijakan karantina wilayah (lockdown) yang diambil sejumlah negara.
Itu sejurus dengan pedoman dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pemerintah di dunia dianjurkan menerapkan protokol lockdown guna menahan laju penyebaran virus corona. 
World Food Programme (Program Pangan Dunia/WFP) melaporkan, sebelum ada pandemi COVID-19, 135 juta orang di dunia menderita kelaparan parah. Angka ini bisa berlipat ganda jika tidak ada tindakan cepat dan kuat dalam mengatasi virus corona.
Meski tak secara spesifik menyebut, namun mudah ditebak, aturan lockdown menyebabkan rantai pasok pangan akan terganggu dan tiap negara akan memprioritaskan kebutuhan dalam negerinya. Ini disebabkan, rakyat tidak lagi bebas keluar rumah, penutupan sektor usaha dan transportasi dihentikan. 
“Ada hikmah dibalik musibah, bagi Indonesia ya harus kembali ke jati diri bangsa yang dianugerahi tanah yang subur laut yang luas dan keindahan alam,” ujar Efri Jhonly.
Ketiga faktor itu, lanjutnya, merupakan kekuatan Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia.  Bila selama ini belum maksimal digarap, Covid-19 seharusnya menyadarkan Indonesia untuk lebih serius bahwa kelaparan dan bencana kelaparan sesuatu yang serius dan nyata.
“Belanda dan Belgia itu seberapa luas sih, tapi dengan kemajuan teknologi mampu menjadikan Belanda sebagai negara pengekspor nomor satu dunia untuk komoditas kentang dan bawang merah. Begitu juga Belgia dengan kentangnya,” paparnya. 
Kalau kedua negara yang luas lahannya terbatas saja bisa, lanjutnya, harusnya Indonesia jauh lebih dari itu. Namun yang terjadi, luas lahan pertanian terus menyusut berganti dengan kawasan industri dan perumahan, karena profesi pertanian dianggap tidak memberikan kesejahteraan.
“Di pandemi ini, ayo Indonesia adalah negara agraris, kita kembalikan ke jati dirinya. Nomor satu adalah pangan. Mari jati diri negara indonesia kita kembalikan,” tegasnya. 
Begitu juga dengan luas lautan, lanjutnya, namun kehidupan para nelayan jauh dari sejahtera. Hanya nelayan-nelayan modern yang sejahtera, karena menggunakan peralatan teknologi dalam budi daya atau penangkapan ikan.
“Tidak usah lagi bangga dengan istilah penenggelaman kapal, itu justru menyedihkan disaat masih banyak nelayan yang membutuhkan kapal,” ucapnya 
Berdasarkan Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua dunia mencapai 99.000 kilometer, dengan luas perairan 6,3 juta kilometer persegi.
Pusat penelitian oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebutkan, nilai kekayaan laut Indonesia mencapai Rp 1.772 triliun, dengan potensi kekayaan lebih Rp1.700 triliun. Kondisi ini, merupakan peluang besar dalam meningkatkan taraf hidup nelayan sekaligus tantangan dalam pengawasan.
Pencurian ikan, penangkapan berlebih dan tak ramah lingkungan mengancam kekayaan laut Indonesia. Banyak terjadi pencurian kekayaan laut, oleh kapal ikan asing.
“Ubah kebijakan penenggelaman dengan memberikan kapal itu kepada nelayan-nelayan tradisional. Dengan kapasitas kapal yang besar, para nelayan melaut lebih lama dan bicaranya sudah ton bukan kilogram lagi,” paparnya.
Begitu juga dengan pariwisata, sebagai kekuataan Indonesia, lanjutnya, selama pandemi Covid-19 dengan menurunnya jumlah wisawatan yang datang, pemerintah bersama pemerintah daerah melakukan perbaikan sarana dan prasarana wilayah yang dijadikan destinasi wisata, termasuk peningkatan sumber daya manusianya.
“Pariwisata ini mana yang mau dibenahi sarana dan prasaranya. Mumpung sepi wisatawan yang datang, benahi dan tata lagi semenarik mungkin. Benahi jalannya, benahi wilayah pantainya, didik sumber daya manusianya. Saat normal nanti tinggal metik hasilnya,” ujarnya.  
Dirinya tak memungkiri, pandemi Covid-19 membuat semua sektor berhenti bergerak.  “Memang susah, namun tidak mungkin hanya dengan meratapi dan tidak berbuat apa-apa sambil menunggu keajaiban. Ajak masyarakat untuk optimis, bukan pesimis. Belajarlah dari semut,” tegasnya lagi.
Hal lain yang perlu dilakukan, lanjutnya, pengawasan. Ini menjadi penting, jangan sampai pandemi Covid-19 menjadi ladang baru “merampok” uang negara dengan berbagai proyek. Dirinya pun menyindir soal rapid test yang mencapai ratusan ribu hingga jutaan, padahal hanya Rp50 ribu.
“Pengawasan itu nomor satu, negara aja kekurangan dana apalagi rakyat. Jangan Covid-19 dijadikan ladang untuk merampok. Ini soal perut jangan sampai berujung chaos. Daripada memarkir uang di luar negeri, tarik itu ramai-ramai, kasih sumbangan ke negara sebagai bentuk kepedulian dan semangat gotong royong,” pungkasnya. (TN)