PT Pan Brothers Tbk Melangkah di Antara Dua Perang

TN, trustnews.id
Minggu, 12 Januari 2020 | 15:57 WIB


PT Pan Brothers Tbk Melangkah di Antara Dua Perang
Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Anne Patricia Sutanto
Di era disruptif dan sengitnya perang dagang, PT Pan Brothers Tbk mampu melaluinya dengan mulus.
Ramai diberitakan puluhan pabrik bersiap hengkang dari provinsi Banten. Upah minimum (Kota/Kabupaten) ditengarai sebagai penyebabnya. Dari daftar pabrikan yang siap hengkang, PT Pan Brothers Tbk (PBRX) justru memilih tetap bertahan di Kota Tangerang, Banten. Alasannya sederhana saja. 
“Cikal bakalnya PT Pan Brothers Tbk di Tangerang,” ujar Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Anne Patricia Sutanto kepada TrustNews.
Selain alasan romantisme, Anne mengungkap komunikasi menjadi alasan lain mengapa PT Pan Brothers Tbk memilih tetap di Tangerang dengan biaya UMK tertinggi di Indonesia.
“Pertanyaan pindah atau tidak, seharusnya bukan diarahkan ke PT Pan Brothers Tbk. Keputusan pindah itu ada di tangan para pekerja dan pemerintah daerah, apakah punya komitmen yang sama kuatnya dengan kita untuk tumbuh Bersama atau tidak,” ujarnya.
Komitmen yang dimaksud Anne adalah produktifitas. Dirinya menyadari keberadaan upah minimum di Indonesia kerap memicu polemik, sehingga berdampak pada relokasi pabrik ke wilayah yang upah minimumnya lebih rendah.
“Kita selalu melihat dari sisi besaran upah, tapi melupakan sisi produktifitas. PT Pan Brothers Tbk selalu mengkomunikasikan kepada para pekerja bahwa tolak ukur kenaikan upah itu produktifitas dan itu menjadi komitmen bersama. Kalau tidak matching ya lost the business karena cost efficiency,” tegasnya.
Di sisi lain, lanjutnya, keberadaan peran pemerintah daerah. Baginya, pemerintah harus memiliki peta apa yang menjadi keunggulan daerahnya. Tujuannya, memberikan kemudahan kepada investor dalam memilih daerah yang cocok dengan bidang usahanya.
“Kita duduk bareng dengan pemerintah pusat sampai daerah, kita sampaikan ini lho penyebabnya. Kepada Presiden, kita bicara banyak hal mulai dari free trade agreement, labor law hingga masalah vocational school yang matching dengan industri. Termasuk masalah lingkungan hidup jangan mengeluarkan peraturan menteri yang sulit dipenuhi oleh industri,” ujarnya.
Sedangkan kepada pemerintah daerah, menurutnya, apa yang dibutuhkan investor secara umum harus terpenuhi, misalnya jalan, pelabuhan dan vocational school.
“Investor tidak minta dana kepada pemerintah daerah, justru sebaliknya kita mau kasih uang. Kita hanya butuh jalan, pelabuhan dan vocational school, selain tentu saja kemudahan perizinan dan ini yang harus diubah cara berpikirnya. Jangan menawarkan kemudahan membangun industry garmen kalau penduduknya sedikit, kalau ternyata daerahnya cocok untuk persawahan lakukan dengan mekanisasi,”paparnya.
Sebagaimana diketahui, PT Pan Brothers bekerjasama dengan puluhan brand internasional seperti Uniqlo, Adidas, The North Face, Salomon, Arcteryx, J Crew, Dillard, LL Bean, Macy’s, Orvis, Stella Mc Cartney, Spyder, Mavic, Strellson, Oviesse, Coin SpA, Brooks Brothers, Holy Fashion, Atomic, Lacoste, Kathmandu, Duluth, Indygena, Polo Ralph Lauren, Sterling, Burton, Wilson, Haddad, Christoper Banks, Berghaus, Columbia, Oakley, Hunter, Prada, Betabrand, Banana Republic, Joe Brown, Scotch & Soda, IKEA, dan lain-lain.
Sebagai perusahaan yang dipercaya brand-brand ternama dengan standar yang tinggi, Anne pun coba membuka pemahaman bahwa bukan waktunya lagi bicara soal persaingan antar wilayah dalam soal tinggi atau rendahnya upah minimum.
“Pembeli luar negeri tidak lagi bertanya ini baju atau sepatu buatan dari mana. Mereka menghitungnya cost per pieces dari situ ditentukan price, bukan cost per hour. Saingan Indonesia itu dari semua negara di dunia, bukan lagi persaingan antar daerah hanya karena upah minimum,” paparnya.
Dengan hitung-hitungan itulah, PT Pan Brothers Tbk bisa tetap gagah melangkah meski di tengah sengitnya persaingan perdagangan antara Amerika Serikat dan China. Bahkan mengutip Fitch Ratings, lembaga pemeringkat internasional, mengatakan, PT Pan Brothers Tbk justru mendulang keuntungan dari sengitnya pertarungan dagang kedua negara tersebut. Ini merujuk dari total penjualan ekspor perseroan yang mencapai 96 sd 97 %.
Ekspor ke Amerika Serikat sd September 2019 secara persentase naik signifikan menjadi 37.6 % dari 25.5 % di tahun 2018 membuktikan dampak positif dari US vs China trade war.
“Mereka dalam posisi yang baik untuk mendapatkan keuntungan dari permintaan ekspor tambahan dalam jangka menengah, mengingat skala operasi dan rekam jejak mereka,” ujar Associate Director Bernard Kie, awal Agustus lalu.
Sementara itu, berdasarkan laporan keuangan perusahaan per kuartal III 2019 ini, pendapatan PBRX tercatat tumbuh 10.02% menjadi US$ 491,86 juta dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 447,05 juta. Sementara, laba kotor di sepanjang kuartal III 2019 lalu, PBRX juga membukukan laba kotor hingga US$ 65,55 juta atau naik 5,56% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 62,10 juta. Begitu juga dalam hal laba kotor selama periode 2014-2018. Secara berturut-turut sejak 2014, laba bersih perusahaan tercatat US$ 39,6 juta, US$ 53,6 juta, US$ 65,3 juta, US$ 76,6 juta dan tahun 2018 sebanyak US$ 81,3 juta.
Lalu setelah dikurangi beban keuangan, administrasi, dan biaya lainnya, laba usaha yang diraup perusahaan sebesar US$ 35,49 juta di kuartal III 2019. Angka ini melonjak hingga 18,15% dibandingkan pencapaian di kuartal III 2018 yang sebesar US$ 30,04 juta.
Bahkan selama lima tahun (2014-2018), kinerja PT Pan Brothers Tbk mencatatkan angka penjualan yang signifikan, mulai dari US$ 338,5 juta (2014), terus naik US$ 418,6 juta, US$ 482,2 juta, US$ 549 juta, dan terakhir tahun 2018 naik menjadi US$ 611,4 juta. 
Semua itu dihasilkan dari 23 pabrik garmen di 8 lokasi, yakni Banten (Tangerang), Jawa Barat (Bandung dan Tasikmalaya) dan Jawa Tengah (Boyolali, Sragen dan Ungaran) dengan total produksi 117 juta pcs per tahun. Pabrik-pabrik tersebut mampu menyerap lapangan kerja hingga 38 ribu orang. Dalam upaya memenuhi pasar yang terus berkembang itu, PT Pan Brothers Tbk rutin meningkatkan kemampuan mesin-mesin produksinya. Perusahaan ini meyakini strategi menggunakan mesin otomatis dan digitalisasi membuatnya mampu bertahan dalam industri garmen dunia.
“PT Pan Brothers Tbk sudah sejak 2010 melakukan konsep digitalisasi mesinmesin juga mulai diarahkan ke otomatisasi. kita juga ingin industri kita ini bukan hanya industri 4.0 tapi bagaimana menyerap tenaga kerja yang memang sudah ready melalui up skilling, tahun 2021 kapasitas ditargetkan akan bisa menjadi 130 juta pcs per tahun,” ungkapnya.
“PT Pan Brothers Tbk juga disamping memproduksi untuk brand international juga memiliki brand yang dipasarkan sendiri secara off line maupun on line, yaitu pakaian pria Salt n Pepper, Asylum, FTL, SNP Performance, yang salah satu outletnya ada di Terminal III Bandara Soekarno Hatta, pakaian wanita menggunakan brand Zoe Label, Zoe Black dan Wastu." pungkasnya. (TN)