Genjot Ekspor Produk Kopi Dan Tembakau Benahi Sektor Kakao
Senin, 06 Mei 2019 | 07:27 WIB
Abdul Rochim - Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Abdul Rochim menilai merebaknya café dan kedai kopi di Indonesia menjadi sesuatu yang menggembirakan, karena berdampak pada meningkatnya komsumsi kopi di dalam negeri yang tergolong rendah 1,2 kg per kapita per tahun.
Sementara di sisi produksi kopi secara nasional, lanjutnya, di angka 660.000 ton hingga 690.000 ton, sedangkan konsumsi dalam negeri per tahun berada dikisaran 320.000 ton sampai 330.000 ton. Sedangkan untuk ekspor kopi sebsar 340 ribu-450 ribu. Adapun sisanya untuk kebutuhan dalam negeri.
Begitu juga dengan ekspor kopi olahan, menurutnya, terus mengalami peningkatan di tiga tahun terakhir. Pada 2018, terjadi lonjakan peningkatan ekspor 21,49% menjadi 216.000 ton dengan peningkatan nilai 19,01% menjadi US$580 juta. Dibandingkan tahun 2017 sebesar 178.000 ton atau senilai US$487 juta. Eekspor kopi olahan tersebut didominasi oleh kopi olahan berbentuk instan sebesar 87,9% dan sisanya berbasis ekstrak dan essence.
“Kalau melihat kopi saya optimis ada peningkatan ekspor dalam berbagai bentuk olahan kopi, karena beberapa sudah melakukan ekspansi seperti Kapal Api, Mayora dan ada Aneka Kopi,” paparnya kepada TrustNews.
Sementara di sektor hasil tembakau, menurutnya, tetap menjadi primadona meski pada sektor prusahaan rokok terus mengalami penurunan tajam. tercatat jumlah pabrik rokok di Indonesia turun 80,8% dari 2.540 pabrik pada 2011 menjadi 487 pabrik pada 2017. Kondisi ini ikut menyeret turunnya produksi rokok nasional sepanjang 2013-2018, yakni 345 miliar per batang di tahun 2013 menjadi 312.9 miliar per batang di 2018.
Namun di sisi cukai rokok terus mengalami kenaikan pada kurun waktu yang sama 2013-2018, yakni penerimaan cukai rokok pada 2013 sebesar Rp108 triliun, naik pada tahun 2014 jadi Rp118 triliun, kemudian di tahun 2015 naik Rp115 triliun. Di tahun 2016, pemasukan Pemerintah dari cukai rokok sebesar Rp144 triliun, di tahun 2017 pemasukan dari cukai sebesar Rp153.2 triliun dan tahun 2018 sebesar Rp155.4 triliun.
“Ada dilema untuk industri rokok, disatu sisi kita ingin pendapatan dari cukai berikut pajaknya sebesar Rp190 triliun. Namun di lain sisi terkait bidang kesehatan terkait dengan aturan dan kebijakan tembakau, padahal industri tembakau dan rokok menyerap jumlah tenaga kerja yang besar. Ini yang harus disinkronkan dari sisi pemerintah yang mengambil kebijakan dengan penuh kehati-hatian,” tegasnya.
Adapun dari sektor Kakao, menurutnya di industri hilir pengolahan kakao mengalami kekurangan pasokan bahan baku biji kakao, hal ini dikarenkan masih belum optimalnya di sektor hulu dalam mengembangkan biji kakao.
“Sektor hilir mengeluh kurangnya pasokan bahan baku. Utilisasi kapasitas produksi masih di bawah 50%. Bisa bayangkan industri dengan kapasitas sebesar itu tidak efisien,” ujarnya.
Hitung-hitungannya, total kapastitas terpasang industri pengolahan sebesar 800.000 ton. Sementara kemampuan produksi sebesar 400.000 ton, untuk menutup kekurangan tersebut impor biji kakao sebanyak 200.000 ton.
“Soal angka bisa saling memperdebatkan, namun karena jumlah produksinya kurang diambil langkah dengan mengimpor itu pun belum bisa menutupi jumlah yang dibutuhkan indutri di sektor hilir,” paparnya.
Terkait dengan pengembangan kakao, dijelaskannya, Kementerian Perindustrian membangun Teaching Industry pengembangan dan pengolahan kakao yang berada di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada Februari lalu.
Lembaga ini didirikan selain menjadi pusat pengembangan bibit kakao yang berkualitas baik, guna mendorong dan mempercepat program hilirisasi industri pengolahan kakao. Juga ditujukan untuk meningkatkan kompetensi SDM industri pengolahan kakao melalui program teaching industri.
“Kita harapkan Teaching Industri di Batang menghasilkan wirausaha baru pengolahamn kakao supaya meningkatkan nilai tambah,” pungkasnya. (TN)
BACA JUGA