Terjepit di antara kesulitan bahan baku Bj LAS dan pandemi Covid-19, sejumlah produsen baja ringan gulung tikar. Aplus Pacific keluar dari lubang jarum.
PT Aplus Pacific selaku produsen baja ringan memiliki strategi untuk tetap bertahan di tengah pandemi Covid-19. Tak bisa dipungkiri pandemi memberikan pukulan telak pada sektor konstruksi, khususnya properti. Ini belum lagi, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membuat pengiriman jadi tersendat, bahkan terhenti.
"Kita sempat drop di Mei 2020. Akibat kebijakan PSBB yang berbeda antar wilayah membuat banyak pengiriman barang harus putar balik," ujar Direktur Utama PT Aplus Pacific, Gendro Sapto Giri menjawab TrustNews.
"Di beberapa daerah pengiriman barang malah berhenti sama sekali. Imbasnya tentu perusahaan tidak melakukan produksi dan sistim kerja yang awalnya tiga shift menjadi satu shift," tambahnya.
Sebelum pandemi, lanjutnya, para pelaku usah baja ringan sudah kesulitan akan masalah ketersediaan bahan baku. Khususnya terkait dengan importasi Bj LAS (Baja Lapis Aluminium Seng) yang merupakan bahan baku baja ringan.
"Belum lagi masalah Bj LAS terselesaikan, masalah baru yang jauh lebih berat kembali melanda yakni pandemi Covid-19," ujarnya.
Dia pun menggambarkan, Aplus Pacific sebagai produsen baja ringan berada di bagian hilir dari mata rantai produksi dan langsung berhubungan dengan masyarakat (konsumen).
Sebagai produsen, lanjutnya, perusahaan membutuhkan bahan baku yang berasal dari sektor hulu berupa hot rolled, kemudian dilapis menjadi Bj LAS sebagai bahan baku baja ringan.
"Di bagian hilir dan intermediate kadang terhambat karena pasokan Bj LAS pada kenyataannya tidak mencukupi dari kebutuhan secara total. Karena tidak cukup otomatis harus impor tujuannya menstabilkan pengadaan dan juga harga," paparnya.
"Kami tentu memprioritaskan Bj LAS dari dalam negeri, hanya saja produksi tidak bisa menunggu kalau barangnya baru datang 3 bulan ke depan. Ini yang terjadi, sehingga membutuhkan impor untuk menutupinya," tambahnya.
Dalam kondisi pandemi, lanjutnya, bukan hal mudah untuk bertahan di masa sulit seperti sekarang ini. Oleh karena itu, selain dukungan pemerintah, pihaknya harus melakukan inovasi-inovasi baru agar dapat bertahan dan perlahan meningkatkan kembali produksi.
"Agustus kondisi mulai kembali lancar. Pesanan kembali masuk dan daerah-daerah yang awalnya tertutup kembali dibuka sehingga pengiriman barang kembali lancar," ucapnya.
"Kondisi ini juga ditopang oleh kebijakan Dirjen ILMATE yang membuka keran impor secara khusus untuk menutupi kekurangan bahan baku dalam negeri," tambahnya.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Perindustrian, melalui Ditjen Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (ILMATE), telah mengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan industri baja nasional dengan mendorong terciptanya iklim usaha industri yang kondusif dan kompetitif. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan utilisasi serta kemampuan inovatif pada sektor tersebut.
Berbagai regulasi itu, antara lain regulasi impor baja berdasar supply-demand, fasilitasi harga gas bumi bagi sektor industri sebesar 6 dolar AS/MMBtu guna menekan biaya produksi, dan Izin Operasional Mobilitas dan Kegiatan Industri (IOMKI) yang memberikan jaminan bagi industri untuk dapat tetap beroperasi dengan protokol kesehatan ketat sesuai disarankan pemerintah.
"Kebijakan soal import dalam bentuk pertimbangan teknis dari Kemenperin dan adanya surat persetujuan impor dari Kemendag, ini membuat para pelaku usaha baja ringan kembali bergairah. Produksi kembali bergerak dan pola kerja kembali ke dua sampai tiga shift," tandasnya. (TN)