Petani Indonesia Tak Lagi Mencangkul

TN, trustnews.id
Rabu, 11 September 2019 | 04:13 WIB


Petani Indonesia Tak Lagi Mencangkul
Sarwo Edhy – Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian.

Mulai detik ini buang jauh-jauh gambaran petani itu kotor dan bergumul lumpur terpanggang matahari. Itu zaman jadul punya, petani Indonesia kekinian gambarannya mengolah, menanam hingga memanen sudah mengendarai traktor, layaknya mengendarai mobil, dan hanya butuh paling lama empat jam saja. Lebih efisien hingga pola tanam dan panen bisa lebih cepat dengan bibit unggul bersertifikat, setahun bisa dua hingga tiga kali panen.
Dalam wawancara khusus dengan TrustNews, Sarwo Eddy berbicara panjang lebar tentang masa depan pertanian yang lebih modern bahkan menuju digitalisasi pertanian. Berikut adalah wawancara lengkapnya:


Bagaimana potret sarana dan prasarana pertanian saat ini ?
Kementerian Pertanian lewat Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) dalam empat tahun belakangan mencoba untuk mengubah mindset para petani dari pola budidaya tradisional ke pola modern dengan sistem mekanisasi.  Caranya dengan memberikan para petani alat-alat mesin pertanian. Sambil mengedukasi bahwa untuk mengolah lahan gunakan handtraktor dan traktor, baik roda dua atau roda empat.  Setelah pengolahan masuk penanaman menggunakan transplenter, ini mesin juga. Pada masa panen gunakan combine harvester (keterangan: mesin panen berfungsi menuai, merontokkan dan menampi).

Apa keunggulannya dengan sistem mekanisasi? 
Perbedaanya sangat jauh.  Pola tradisional, mengolah lahan satu hektar membutuhkan waktu 3-4 hari dengan tenaga kerja 20 orang untuk mencangkul. Sistem mekanisasi dalam luasan yang sama menggunakan handtraktor hanya butuh kurang lebih tiga jam pengerjaannya. Dari segi waktu pengolahan, sistem mekanisasi jauh lebih efisien. Pada saat menanam, penggunaan transplenter membutuhkan waktu tiga jam untuk luas lahan 1 hektar. Pola tradisional dengan luasan lahan yang sama membutuhkan tenaga kerja 20 orang dan membutuhkan waktu 3-4 hari. Begitu juga saat masa tuai, penggunaan combine harvester jauh lebih memudahkan dibandingkan dengan pola tradisional.
Dengan sistem mekanisasi diharapkan pengolahan lahan, tanam dan panen itu ada efisiensi waktu. Sehingga minggu berikutnya sudah bisa menanam kembali.
 
Dari segi efisiensi waktu, sistem mekanisasi boleh menang. Tapi dari segi produktifitas petani, sepertinya pola tradisional yang unggul?
[Tertawa]….tentu ada hubungannya, apakah dengan pola tradisional atau pola mekanisasi. Pertama dari segi efisiensi waktu pengolahan, setelah itu lari ke bibit unggul bersertifikat. Kalau biasanya perhektarnya panen itu hanya 3-4 ton, bagaimana kita mencari bibit unggul bermutu bersertifikat sehingga panennya itu bisa 7-8 ton, artinya ada dua kali kenaikan dari sisi profitas. kalau produktifitas pertanian naik otomatis produksi naik. karena produksi merupakan perkalian antara produktifitas kali luas lahan. Jadi mana yang lebih unggul, saya kira sudah menemukan jawabannya. 

Bagaimana pendistribusiannya? 
Sudah hampir seluruh Indonesia. Kita bagikan alat mesin pertanian ke seluruh dinas provinsi, kabupaten dan kota, setelah itu melalui dinas-dinas disalurkan kepada kelompok-kelompok tani. Basisnya ke kelompok tani. Setiap kelompok tani itu terdiri dari 30 sampai 40 orang, kelompok-kelompok tani ini bergabung menjadi gabungan kelompok tani. Secara kelembagaan pertanian, itu sudah terstruktur dengan baik. 

Apa tidak menimbulkan kekhawatiran dengan modernisasi teknologi yang hanya dikerjakan empat orang menyebabkan terpangkasnya jumlah tenaga kerja dari yang 20 orang tadi? 
Begitu disebut petani, maka yang terbayang itu nyangkul di tengah terik matahari dengan tubuh belepotan lumpur. Itu sudah lama ditinggalkan padahal, sayangnya mindset anak-anak muda masih di situ. Padahal, para petani tinggal duduk di kursi traktor saja, seperti mengendarai mobil. Muter-muter di area lahan yang akan di olah. Sudah ngga nyangkul lagi.  Ngolahnya pun lebih singkat hanya 3 sampai 4 jam. Bahkan sudah ada traktor yang lebih canggih lagi, dikendalikan pakai remote, jadi petani hanya duduk atau berdiri di pinggir sawah. Mau ngolah sawah, mau nanam benih bahkan memanen dilakukan di pinggir sawah sambil duduk mengendalikan traktor atau combine hesvesternya. Petani itu tidak lagi kotor kalau sudah pakai sistem remote. Bahkan kita sudah mencanangkan 4.0 yakni pengendalian atau pengolahan lahan menggunakan digitalisasi yang hanya dikelola oleh dua orang saja. 
Kembali kepertanyaan apakah tidak menimbulkan ledakan pengangguran, jawabnya tidak. Karena esensi dari kemajuan teknologi itu, membantu atau memudahkan pekerjaan manusia. Memang betul dengan adanya alat mesin pertanian ini buruh-buruh tani semakin terbatas.  Tapi, mereka bisa mencari pekerjaan di pekerjaan lainnya yang sifatnya padat karya.
Kita di PSP ini ada progam namanya rehabilitasi jaringan irigasi. Dananya langsung dibantukan ke para petani. Petani mendapat uang, mengerjakan sendiri dan mendapat upah. Ada juga program Jalan Usaha Tani (JUT) yakni pembangunan jalan di areal persawahan. Pola-pola seperti itu kita terapkan dan para petani pun senang dengan adanya pola mekanisasi ini. Para petani kita lebih semangat, karena lebih cepat dalam mengolah, lebih cepat dalam menanam dan lebih cepat panen dan lebih cepat menanam kembali. Biasanya satu kali tanam dalam setahun, bisa dua kali bahkan tiga kali panen dalam setahun.(TN)