Ketua MPR: Hari Konstitusi, Hati-Hati Ubah UUD 1945
Rabu, 19 Agustus 2020 | 13:15 WIB
Sumber:google
Sebuah agenda penting dalam perjalanan sejarah bangsa mencatat, disahkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (NRI), satu hari setelah Proklamasi kemerdekaan dibacakan.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menilai peringatan hari konstitusi harus menjadi momentum bersama bagi seluruh elemen masyarakat, bangsa dan negara untuk melakukan refleksi dan evaluasi terhadap sistem ketatanegaraan, konstitusi maupun pelaksanaannya.
“Konstitusi memiliki arti yang sangat penting bagi sebuah negara, suatu adagium mengatakan bahwa tanpa konstitusi, negara tidak akan pernah lahir. Maknanya, bahwa kelahiran sebuah negara sangat erat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi negara tersebut. Konstitusilah yang mengatur hal hal yang bersifat fundamental dalam negara,” ujar Bambang, dalam peringatan Hari Konstitusi Indonesia, di Gedung Nusantara IV, Komplek MPR/DPR RI, Selasa (18/8).
Bamsoet menyebut, terdapat tiga hal mendasar yang menjadi batu uji evaluasi atas kehadiran konstitusi dalam negara. Pertama, hadirnya konstitusi sebagai instrumen hukum yang membatasi pelaksanaan kekuasan pemerintahan negara agar tidak menyimpang dari kaidah konstitusional yang telah ditetapkan dalam UUD Tahun 1945.
"Kedua, konstitusi hadir untuk mengatur wewenang lembaga-lembaga negara dan hubungan diantaranya dalam melaksanakan wewenang dan tugas konstitusionalnya dalam sistem ketatanegaraan kita. Ketiga, konstitusi hadir untuk mengatur hubungan negara dan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, terkait dengan jaminan dan pelaksanaan hak-hak konstitusional warga negara," ungkapnya.
Atas dasar itulah, lanjutnya, UUD Tahun 1945 memberikan wewenang kepada MPR untuk melakukan evaluasi dengan kewenangan mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar, apabila tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk menjamin bahwa Undang Undang Dasar adalah kontitusi yang hidup dan bekerja untuk kesejahteraan masyarakat.
"Ini adalah tugas mulia yang harus diemban dengan sebaik-baiknya, penuh keseksamaan, kecermatan dan kehati-hatian, karena menyangkut hukum dasar negara, hukum tertinggi yang mengatur berbagai dimensi strategis kehidupan berbangsa dan bernegara, baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan dan keamanan negara," tandasnya.
Bambang menuturkan, UUD 1945 memberikan wewenang kepada MPR untuk melakukan evaluasi dan perubahan terhadap UUD jika tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
"Maka untuk menjamin bahwa UUD adalah konstitusi yang hidup dan bekerja untuk kesejahteraan masyarakat, maka UUD 1945 memberikan wewenang kepada MPR untuk melakukan evaluasi dengan kewenangan mengubah dan menetapkan UUD apabila tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat," ujarnya.
Hanya saja, menurutnya, Kewenangan yang tertuang dalam Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD, harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Sebab, UUD 1945 merupakan hukum dasar negara yang mengatur berbagai bidang kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, sosial dan budaya, hingga pertahanan dan keamanan negara.
"Amanat untuk melakukan perubahan terhadap UUD NRI 1945 tentu bukan hal yang mudah. Ini adalah tugas mulia yang harus diemban dengan sebaik-baiknya, penuh keseksamaan, kecermatan, dan kehati-hatian, karena menyangkut hukum dasar negara, hukum tertinggi yang mengatur berbagai dimensi strategis kehidupan berbangsa dan bernegara, baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, hingga pertahanan dan keamanan negara," tuturnya.
Bambang juga mengatakan, saat ini MPR telah melaksanakan kegiatan aspirasi masyarakat yang terkait dengan rencana penghidupan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Rencana penghidupan GBHN itu menjadi rekomendasi MPR periode 2014-2019 yang dipimpin Zulkifli Hasan.
"Terkait dengan penyerapan aspirasi masyarakat dan daerah, MPR dan alat kelengkapannya telah melaksanakan kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat daerah di daerah pemilihan sebagai tindak lanjut rekomendasi MPR Masa Jabatan 2014-2019, khususnya terkait dengan perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dan Penataan Sistem Ketatanegaraan Indonesia," pungkasnya. (TN)
BACA JUGA