Memulai Tradisi Baru Dalam Kenormalan Baru
Sabtu, 04 Juli 2020 | 08:45 WIB
Sumber: google
Pandemi Covid-19, secara tidak langsung telah membuka mata dunia bahwa kecemasan akan pemanasan global (global warming) hingga perubahan iklim (climate change) dapat diatasi dengan cara yang sederhana.
“Selama hampir enam bulan, masyarakat di seluruh dunia bergerak bersama-sama melakukan karantina wilayah dan memilih tinggal di rumah. Pilihan ini tidak saja memutus mata rantai penyebaran Covid-19, tapi juga membuat kondisi bumi jauh lebih baik,” ujar Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RM Karliansyah
Sejumlah data pun terpaparkan, sebut saja India. Emisi karbon di India turun 15 persen di bulan Maret dan kembali turun hingga 30 persen di bulan berikutnya.
Begitu juga dengan kondisi udara di New York, Amerika Serikat. jumlah karbon monoksida yang sangat tinggi selama satu setengah tahun terakhir, mengalami penurunan sekitar 50 persen selama dua pekan di Maret..
Sementara itu, tingkat emisi berkurang 25% di awal tahun, ketika orang-orang diperintahkan untuk tinggal di rumah. Pabrik-pabrik tutup dan penggunaan batu bara di enam pembangkit listrik merosot hingga 40%. Proporsi hari-hari dengan "kualitas udara baik" naik 11,4% dibandingkan waktu yang sama pada tahun lalu di 337 kota di seluruh China.
Sedangkan konsentrasi pencemar udara di Roma dan Milan telah turun hingga 50 persen, sementara badan pengawas kualitas udara Paris mencatat penurunan polusi hingga 30 persen.
Namun apakah kondisi tersebut dapat dipertahankan? Karliyansah menjawab tegas, “Ya”.
“Oh ternyata polusi berkurang karena berkurangnya jumlah kendaraan, bagaimana kalau diteruskan dengan menggunakan transportasi umum. Polusi menurun nih selama industri berhenti, berarti ada yang salah selama ini. Kalau pola konsumsinya butuh 5, jangan ambil 7, kelebihannya itu yang merusak lingkungan,” paparnya menjaga kelangsungan lingkungan paska pandemik.
Baginya pandemi telah ‘merevolusi’ pola pikir dan pola sikap manusia, tidak hanya sebatas mencuci tangan, menjaga jarak dan menggunakan masker. Lebih dari itu. Selama hampir empat bulan, masyarakat dipaksa untuk berbelanja secara online.
“Selama tinggal di rumah, masyarakat lebih banyak berbelanja secara online. Ini mereduksi karbon monoksida, karena jumlah kendaraan jauh berkurang dan lagi diajarkan untuk saling berbagi rejeki dengan orang lain,” ucapnya.
Tak hanya itu saja, lanjutnya, bekerja di rumah pun mengajarkan manusia untuk menghargai waktu. Rapat yang biasanya berlarut-larut dan kerap berisik, jadi teratur dengan konsep rapat virtual.
“Rapat yang biasanya berpanjang-panjang, kini dengan virtual langsung ke inti masalah dan para peserta rapat tertib menunggu giliran berbicara. Rapat dua jam, bener-benar dua jam,” ujarnya tertawa.
Dia berharap, bila semua yang terjadi selama masa Pembatasan Sosial Bersakala Besar menjadi budaya baru dalam kondisi kenormalan baru dan seterusnya, akan membuat lingkungan jauh lebih baik dan sehat.
“Asal jangan kembali kehabitat lama, kembali jor-joran setelah empat bulan berdiam diri di rumah. Empat bulan kebiasan itu diteruskan menjadi budaya baru bagi masyarakat,” pungkasnya. (TN)
BACA JUGA