Geliat Pasar Jaya Menantang Megapolitan Jakarta
Minggu, 13 Oktober 2019 | 05:58 WIB
Arief Nasrudin, Direktur Utama Perumda Pasar Jaya
Jangan anggap remeh Perumda Pasar Jaya. Meski nama dan jejaringnya, kalah pamor dibanding jejaring milik peritel raksasa yang menawarkan bangunan megah nan gemerlap memanjakan konsumennya. Namun, perusahaan milik Pemprov DKI Jakarta, ini mengelola 148 pasar dengan omset bisnis dari 150 triliun rupiah per tahun yang tersebar di 105.223 tempat usaha.
Hal mengejutkan, berdasarkan survei, pasar-pasar yang dikelola Pasar Jaya dikunjungi lebih dari dua juta pengunjung setiap harinya. Ini berarti sekitar 20% dari penduduk DKI Jakarta berbelanja di pasar milik Pasar Jaya.
Tentu tak mudah mengubah image pasar tradisional yang kumuh, becek dan bau. Apalagi sekecil apapun perubahan yang dilakukan, selalu mendapat penolakan keras. Pasar Blok A Fatmawati, misalnya, butuh waktu lima tahun melakukan sosialisasi. Salah sedikit saja menangani, bisa berujung fatal. Minimal demo tak lagi bisa dihindari.
"Contoh lain, Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan, ini yang pertama menggabungkan konsep pasar tradisional terintegrasi rusunawa," ujar Arief Nasrudin, Direktur Utama Perumda Pasar Jaya kepada Trustnews.
Hal lain yang dilakukan Pasar Jaya, lanjutnya, membangun pasar rakyat bersubsidi yang menerapkan sistem sewa bersubsidi selama tiga tahun pertama. Pasar bersubsidi itu antara lain, Pasar Sinar di Koja, Pasar Bidadari di Kayu Putih, Pasar Cawang Kavling di Cawang Baru Utara, dan Pasar Karet Belakang (Karbela) di Karet, Setiabudi.
"Ibarat kawah candradimuka ya itulah niatan dibangunnya Pasar Rakyat bersubsidi, para pedagang kecil masuk inkubasi. Dilatih, digodok dan dibentuk menjadi pedagang mandiri, sehingga tidak saja survive tapi juga berkembang," ujarnya.
Bagi Arief dan Perundangan Pasar Jaya, segala perbaikan atau pun revitalisasi yang dikerjakan ditujukan untuk meningkatkan pelayanan. Akibatnya, semakin ketat persaingan dengan munculnya pasar-pasar modern.
"Kita menjaga karateristik pasar tradisionalnya jangan sampai hilang, itu kekuatannya sebagai memori kolektif masyarakat terhadap pasar tradisional yang dulu sering dikunjungi," ujarnya bernostalgia.
Tak mau ketinggalan dalam urusan digitalisasi atau Revolusi Industri 4.0, meski diakuinya Pasar Jaya agak terlambat, dikarenakan sistem birokrasinya yang berbeda dengan swasta. "Better late than never," ujarnya. Dengan segala langkah itu, tidak mengherankan bila Perumda Pasar Jaya menargetkan pendapatan Rp1,1 triliun.
“Kita tidak hanya mengandalkan penyewaan kios, tetapi kita juga terjun pada bisnis distribusi pangan yang cukup menjanjikan, “ujarnya.
Menurutnya, target tersebut naik dibandingkan realisasi pendapatan sepanjang 2018 yang mencapai Rp940 miliar. Tiapa tahun, BUMD itu menunjukkan kenaikan pendapatan yaitu mulai dari Rp500 miliar pada 2016 lalu naik menjadi Rp700 miliar pada 2017.
Pendapatan dari distribusi pangan melesat setelah Pasar Jaya meresmikan gerai Jak Grosir pertama di Pasar Induk Kramat Jati tahun lalu. Setelah itu mengembangkan sayap ke toko ritel, yaitu Jak Mart dan Mini DC (Distribution Channel), Pop and Mom (bentuk pembinaan UKM). Saat ini, total gerai ritel yang dimiliki Pasar Jaya tersebar di 58 lokasi.
“Sekarang komposisi pendapatan 35% dari distribusi pangan, 35% sewa-menyewa toko, dan sisanya parkir dan lain-lain. Tahun ini, saya prediksi lebih dari 50% atau sekitar Rp600 miliar kontribusi pendapatan berasal dari distribusi pangan,” pungkasnya.(TN)
BACA JUGA