Sukses Hilirisasi Sawit Role Model Komoditas Lain
Rabu, 10 Agustus 2022 | 10:14 WIB
Putu Juli Ardika, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin/TrustNews
"Kita ingin industri manufaktur tetap bisa berproduksi dan kelestarian lingkungan (hutan) tetap terjaga," ujar Putu Juli Ardika kepada TrustNews.
"Misalnya perusahaan tebang satu rotan, maka dia harus menggantinya dengan menanam tiga bibit pohon rotan. Dengan menanam kembali akan terjaga kelestariannya dan juga fungsi keekonomiannya," tambahnya.
Adapun penggunaan kayu, lanjutnya, pemerintah sudah menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini mendorong implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia.
"Untuk kayu, kita sudah punya SVLK. Jadi kayu yang untuk produksi dimanfaatkan untuk furniture dan penebangannya juga ada sertifikasinya. Kalau kita habis nebang, ya kita tanam lagi. Itu untuk melestarikan alam dan ketersediaan barang baku berbasis hutan," ujarnya.
Selain itu, SVLK memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki status legalitas yang meyakinkan.
"Konsumen di luar negeri pun tidak perlu lagi meragukan legalitas kayu yang berasal dari Indonesia. Sehingga para pelaku industri berbahan kayu dalam negeri lebih mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri," terangnya.
Hal yang sama juga berlaku untuk industri sawit dengan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Hal ini menurutnya, sebagai upaya menjadikan usaha perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosial budaya dan ramah lingkungan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan meningkatkan daya saing produk kelapa sawit industri untuk
pasar internasional.
"Sertifikasi ISPO untuk menjamin ketelusuran Tandan Buah Segar (TBS) yang diolah menjadi minyak sawit (Crude Palm Oil) minyak inti sawit (Palm Kernel Oil) dan produk samping," ujarnya.
"Kita concern untuk sustainability dengan menjaga kelestarian alam. Untuk menjamin ketersediaan barang baku dalam negeri, ada dua yang dilakukan yakni pungutan ekspor (levy) dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan bea keluar (BK) minyak sawit beserta turunannya," tambahnya.
Dengan kedua perangkat tersebut, lanjutnya, dalam kurun waktu 10 tahun terjadi hilirisasi di sektor sawit. Semula hanya mengekspor CPO, kini ekspor lebih banyak dalam bentuk Refined, Bleached and Deodorized (RBD) Palm Oil atau RPD Palm Oil.
"Pasar ekspor produk oleokimia nasional terus meningkat. Kita masuk ke fitronutien misal krim nabati, jadi ada yang untuk pakan dan pangan," ujarnya.
Bahkan, saat ini terdapat 168 jenis produk hilir CPO yang telah mampu diproduksi oleh industri di dalam dalam negeri untuk keperluan pangan, fitofarmaka/nutrisi, bahan kimia/oleokimia, hingga bahan bakar terbarukan/biodiesel FAME.
"Sekarang kita sudah bisa memproduksi 168 jenis produk dan kita yakin dengan sustainable. Karena kedepannya kita akan bicara soal plastik yang secara alami dapat diuraikan (plastik biodegradable)," ujarnya.
Baginya, pola hidup dan pola pikir masyarakat yang berubah pada gilirannya berharap akan lingkungan yang bersih dari limbah atau sampah. Karena itulah, Kemenperin mendorong pengembangan bioenergi.
"Bagaimana limbah bisa diproses menjadi bioenergi secara langsung atau pakan bagi mikroorganisme dan dari mikroorgan-
isme kita jadikan nutrients. Kita produksi untuk itu," ujarnya.
Menurutnya, keberhasilan kita hilirisasi industri berbasis kelapa sawit bisa menjadi role model bagi industri komoditas lainnya. Seperti nanas, ketela atau perikanan untuk melakukan hilirisasi produk sehingga tidak semata ekspor bahan baku tapi sudah punya nilai tambah yang tinggi.
"Kita berharap semua komoditas bisa mencontoh hilirisasi berbasis kelapa sawit yang semula hanya ekspor CPO kini sudah ekspor desinfektan sebagai turunannya. Nilainya bisa tiga kali lipat dari CPO. Kita punya nanas, ketela atau perikanan ini kalau sudah hilirisasi nilainya jauh lebih besar lagi," pungkasnya. (tn/san)
BACA JUGA