Industri Percetakan Tergerus Era Digital, Kesulitan Bahan Baku
Selasa, 16 April 2019 | 09:27 WIB
Ahmad Mughira Nurhani, Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia (PPGI)
Era digital telah merevolusi wajah industri grafika di Tanah Air. Hanya ada dua pilihan yang ada, tetap bertahan di jalur konvensional (offset printing) atau beralih ke bisnis packaging (kemasan) yang tengah mengalami kenaikan permintaan setiap tahunnya.
Pengakuan blak-blakan itu dikemukakan Ahmad Mughira Nurhani, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia (PPGI), saat membandingkan kondisi offset printing dan packaging beberapa tahun terakhir. Mengingat dari sisi para pengusaha grafika Indonesia terus-menerus mengalami kesulitan mengakses bahan baku. Padahal, pengusaha grafika Indonesia memiliki peluang bagus untuk meningkatkan ekspor karena poduk Indonesia memiliki keunggulan di pasar global.
“Kita katakan ke Kementerian Perindustrian harus ada kuota ekspor kertas. Jadi kertas itu jangan semuanya ekspor, buatlah ketentuan 30 persen atau 50 persen dari total ekspor kertas itu berupa barang cetakan. Sehingga yang diekspor bukan kertas mentahnya tapi barang cetakan,” paparnya.
Sebagaimana aturan yang mewajibkan semua barang cetakan, seperti buku-buku petunjuk penggunaan dan katalog yang masuk ke Indonesia harus ada Bahasa Indonesianya.
“Barang-barang elektronik yang beredar di Indonesia, mulai dari handpone hingga televisi menyertakan buku petunjuk penggunaannya diwajibkan menyertakan Bahasa Indonesianya. Hal ini membuat industri grafika bergerak karena ada pemesanan,” tegasnya.
Kondisi berorientasi ekspor itu, lanjutnya, mengakibatkan pengusaha grafika Indonesia justru kesulitan mengakses bahan baku. Mughi menyebutkan, pelaku industri harus memesan jauh-jauh hari untuk mendapatkan bahan baku.
“Di satu sisi ini, ekspor kertas menjadi anak emas, Indonesia di Asia Tenggara nomor satu kertas dan di dunia nomor 10. 70% hasil kertas itu di ekspor, kita percetakan dalam negeri dinomorduakan. Kalau pesan kertas harus nunggu antrian bisa dua bulan atau tiga bulan,” ucapnya.
Sementara di lain sisi, industri kuliner, mulai dari cafe dan restoran cepat saji dengan sistem outletnya tengah naik daun dan membutuhkan produk-produk seperti gelas kertas, kertas pembungkus nasi, kotak kertas, mangkuk sup, gelas es krim, tatakan, juga alas makanan.
“Dulu orang beli makanan hanya dimasukkan kantong kresek (plastik hitam), saat ini sudah dibungkus kertas atau kotak kardus bertuliskan nama produk yang dijajakannya. Kalau outlet-outlet kecil sekali order bisa mencapai 10 ribu boks belum dihitung kertas pembungkusnya atau gelas minumannya, bagaimana dengan restoran cepat sajinya,” ujarnya.
Hal berbeda dengan kondisi percetakan konvensional, meski tetap ada order namun lebih banyak datang dari pemerintah melalui kementerian-kementerian, misalnya pengadaan buku pelajaran sekolah. Hanya saja, pengadaan tersebut diperebutkan oleh perusahaan yang terdaftar di LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) dengan sistem e-catalog.
“Kalau pasar buku sudah makin kecil. Order yang masih diharapkan banyak, order pengadaan buku pelajaran sekolah dari pemerintah. Tapi itu juga hanya baru ada order di bulan Juni, Juli dan Agustus, siapa saja boleh ikut yang penting dia harus terdaftar di LKPP karena pesanannya lewat e catalog gitu,” ujarnya memberikan perbandingan.
Melihat kondisi itulah, Mughi bisa memaklumi bila perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri grafika masuk ke bisnis kemasan. Apalagi perpindahannya tidak terlalu jauh bagi kalangan grafika dengan berinvestasi kepada mesin digital printing teknologi terbaru untuk beralih ke bisnis kemasan.
“Tidak terlalu jauh perpindahannya masih sama-sama cetakan, kalau kemasan tinggal tambah mesin buat bikin boks embos,” ujarnya.
Bagi Mughi, dunia grafika, cetak offset dan web akan berjalan beriringan dengan cetak digital, cetak kemasan dan apparel tinggal bagaimana mensiasatinya. (TN)
BACA JUGA