Saat Tuyul Sulit Mencuri Uang
Jumat, 08 Februari 2019 | 17:13 WIB
Teknologi mampu mengubah tatanan kehidupan, termasuk praktik korupsi
“Dengan teknologi informasi, saat ini tuyul pun terdisrupsi. Semakin sulit mencuri uang," ujar Rhenald yang tercatat sebagai Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia.
Hal itu dikemukakannya saat menanggapi Survei bersama KSP dan LSI menunjukkan persepsi masyarakat terhadap praktik korupsi menurun pada 2016-2018, dalam diskusi bertajuk “Cerdas dan Canggih Melawan Korupsi” yang digelar Kantor Staf Presiden di Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin (7/1).
Sementara itu Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho mengatakan,
Beberapa poin yang menunjukkan klaim itu di antaranya ketika responden memberi nilai 79 persen untuk pertanyaan terkait pengalaman mereka mengurus kelengkapan administrasi publik. Angka tersebut meningkat dari 2017 yang hanya 72 persen dan 2016 sebesar 62 persen.
Begitu juga dengan tren penyebaran korupsi yang turun untuk beberapa pelayanan publik seperti kepolisian, kantor pemerintah daerah, bea cukai, dan pemerintah pusat.
Jajak pendapat berlangsung pada 8 sampai 24 Oktober 2018. Survei terbagi dalam empat hal, yakni tren penilaian terhadap kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi, tren penyebaran korupsi, alasan memberi uang ketika diminta, dan alasan ketika memberi pungli tanpa diminta.
Kendati persepsi korupsi turun, hasil survei tetap menunjukkan sekitar 61 persen responden mengaku pernah memberikan uang agar urusannya cepat selesai. Pun dengan 30 persen responden memberikan uang dengan harapan agar pelayanan bisa lebih cepat, serta 29 persen lainnya ingin memberi “sedekah” kepada petugas yang membantu.
Tak hanya itu, ketika diberi gratifikasi pun, mereka cenderung ragu untuk mengembalikannya karena ada kekhawatiran bakal membuat orang lain tersinggung.
“Kita tidak terbiasa dilayani tanpa membayar. Kemudian ada budaya gratifikasi. Seakan-akan semua harus bayar,” kata Rhenald Kasali, pengamat manajemen yang turut hadir dalam diskusi.
Terkait penurunan praktik korupsi di level pelayanan publik, Yanuar menyebut hal tersebut berkaitan erat dengan kontribusi tiga produk hukum yang dibuat pemerintah dalam empat tahun terakhir. Ketiganya adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2015, Inpres 10 Tahun 2016, dan Perpres 54 Tahun 2018.
Dalam Inpres 7/2016 terdapat 96 beleid yang mendukung tindakan anti-korupsi. Sebanyak 31 di antaranya bahkan sudah memanfaatkan teknologi, seperti layanan paspor daring dan pengadaan barang dan jasa (e-procurement).
Sementara, Inpres 10/2016 mengandung 31 beleid melawan korupsi setidaknya ada 9 aksi memanfaatkan teknologi. Misalnya pertukaran data perpajakan, integrasi perencanaan dan penganggaran, serta implementasi transaksi nontunai di seluruh kementerian dan lembaga.
Kemudian, Perpres 54/2018 tentang Pencegahan Korupsi yang merupakan hasil revisi Perpres 55/2012 tentang Anti-Korupsi. Yanuar menyebutkan, dari beleid baru itu lima menteri telah menandatangani surat keputusan bersama (SKB) yang menetapkan 11 aksi pencegahan korupsi.
"Dari 11 aksi itu sembilan diantaranya hanya sukses jika memanfaatkan teknologi informasi mulai dari OSS (one single submission) dan implementasi satu peta dan beneficial ownership," sambungnya. Belum lagi pemberian subsidi berdasarkan NIK, integrasi data impor pangan, serta integrasi perencanaan dan penganggaran berbasis elektronik.
"Korupsi sitemik sudah mengakar dalam tatanan kerja pemerintah, maka dari itu e-planning menjadi penting," tandasnya.
BACA JUGA