Kebebasan Akademik dan Demokrasi
Rabu, 03 Juni 2020 | 11:22 WIB
Dr. Wijayanto, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto Ph.D
Wijayanto
Indonesia berada dalam proses kemunduran demokrasi yang terjadi secara perlahan sejak 2016 dan terus berlanjut dalam gradasi yang lebih serius setelah pemilu 2019 yang ditandai dengan konsolidasi oligarki, hilangnya oposisi dan pelumpuhan KPK. Salah satu indikator penting dari kemunduran demokrasi itu adalah semakin tergerusnya kebebasan sipil. The Economist Intelligence Unit pada tahun 2019 menempatkan skor kebeasan sipil Indonesia sebagai salah satu yang terburuk di ASEAN yaitu 5,63, lebih rendah dari Filipina (7,06), Malaysia (5.88), Thailand (6,47) dan Singapura (7,06).
Tergerusnya kebebasan sipil yang beriringan dengan serangan terhadap kebeasan akademik tampak sangat jelas dalam proses pelemahan KPK yang ditandai dengan disahkannya RUU pada 17 September 2019, yang diwarnai dengan teror telefon, penyadapan dan peretasan WA para akademisi, juga kekerasan terhadap ratusan mahasiswa yang turun demonstrasi dan penembakan 2 mahasiswa hingga meninggal tanpa sangsi tegas.
Di dalam kampus sendiri, muncul surat edaran dari rektor dari berbagai kampus ternama dikeluarkan untuk mencegah mahasiswa dan para dosen turun ke jalan, sesuai arahan mendikti, yang secara serius menghambat kebebasan ekspresi civitas akademika di kampus. Peristiwa teror yang terjadi pada pembatalan diskusi di UGM memiliki kemiripan dengan teror terhadap para aktivis anti korupsi 2019: melibatkan penyadapan dan peretasan gad get dan teror berupa telefon atau pengiriman text whatsapp. Bedanya jika para mahasiswa UGM ini mendapat ancaman pembunuhan, para akademisi mendapat teror telefon tanpa suara dari nomor luar negeri. Dalam penggunaan gadget ini, polanya memiliki kesamaan dengan apa yang terjadi pada Ravio Patra dan Budi Tempo. Pelaku teror kepada para dosen tidak terungkap hingga kini, juga Ravio Patra dan kemungkinan juga teror kepada mahasiswa UGM dan Budi Tempo.
Tergerusnya kebebasan akademik hari-hari ini merupakan penanda kemunduran demokrasi terburuk yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Indonesia memasuki era reformasi politik pada 1998. Teror siber yang mengancam kebebasan akademik ini tampaknya masih akan terus berlanjut di masa yang akan datang seiring dengan semakin tergerusnya kebebasan sipil dan trend kemunduran demokrasi yang telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya.
Oce Madril
Hal utama yang perlu disoroti di UGM adalah adanya ancaman dengan penggunaan text yang ditujukan kepada panitia untuk menteror, mengintimidasi dan menakut2i para peserta diskusi. Beberapa catatan:
• Kami salut dan berterimakasih pada dekan yang melindungi mahasiswa di kasus ini
• Kami sadar bahwa topik bisa pro dan kontra, tapi teror itu terlalu jauh
• Mahasiswa independen, mereka punya pikiran sendiri
• Kita punya pasal khusus di konstitusi yang menjamin kebebasan memperoleh dan menyebarkan informasi
• Banyak masyarakat yang tidak memahami bahwa kebebasan berpendapata dijamin konstitusi termasuk bahkan aparat
• Ada regulasi lex specialis yang bisa digunakan dalam kasus seperti ini sebenarnya, tapi aparat tidak menydarai atau tidak mau menggunakan lex specialis ini
• Zaman sudah berubah, UU melindungi kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi kelilmuan itu ada dasarnya. diperintahkan oleh regulasi dan undang-undangan
• Naskah akademik dari UU itu aura atau atmosfernya adalah atmosfer demokrasi
• Sayangnya di kampus sendiri kesadaran ini juga kurang. sehingga ada kasus di mana kampus yang jsutru kampus sendiri yang melakukan teror
• Terakhir, sebenernya kita bicara soal teror. ini yang belum ada cukup regulasi. teror ini tidak pernah terungkap. mungkin bahkan memang tidak pernah diselidiki secara serius. teror ini beragam dari mulai yang soft sampai yang keras. tak pernah terungkap. kita tak pernah tahu siapa yang melakukannya. menghack WA, isntagram, face book
Herlambang Wiratraman
• Impeacment adalah topik yang reguler dalam diskusi HTN di kampus, jadi tudingan soal makar ini berlebihan. putusan MK makar itu tidak hanya diskusi tapi juga ada actionnya. secara sederhana diskusi di UGM itu hal biasa
• Apa yang terjadi di UGM dan narasumbernya dari UII, yang berupa tekanan itu bukan hal baru. akademisi di berbagai kampus dari Aceh sampai Papua ada yg diancam bunuh, ditutntut milyaran, ancaman pemutusan riset, nggak dikasih posisi, dipecat, hingga peneliti mengalami intimidasi terkait dengan kurva dari para epidemolog
• Yang menarik adalah cara UGM dan UII merespon dengan melindungi dosen mereka
• Dalam kurun 5 tahun terakhir eskalasi meninggakt sejak 2015, bertepatan dengan 50 tahun 1965, mulai banyak teror: buku disweeping, penerbitnya. sejak itu menguat proses tekanannya. belakangan terlihat kekerasan itu menyasar ke banyak pihak
• Yang kuat adalah feodalisme di kampus, orang yang jadi gubes merasa paling benar, yang di struktur juga, sehingga tidak ada yang namanya kolektif kolegialisme, kampus adalah miniatur feodalisme priyayi jawa ===> di UGM juga dikatakan kok ini menantang bapak/ibu dan kakeknya sendiri
• Ada 5 tantangan kebebasan akademik: warisan otoritarianisme ===> legacy ini turun ke kampus misalnya diskusi putusan IPT dibebaskan, state sponsor commercialism/mcdonaldizasi perguruan tinggi, bekerjanya kuasa pemodal terhadap kebijakan2 kampus agar lebih ramah pada investasi, feoalisme di kampus, subordinasi risey kampus untuk kepentingan capital, perlindungan hukum yang minim terhadap korban kekerasan akademik yang tidak diberikan oleh negara maupun manajemen kampus. maka saya gembira UII dan dekan FH UGM membela sivitas akademikanya
Andri wibisono:
• Pembatasan kebebasan akademik pada masa orde baru memiliki ciri: pensensoran buku, larangan mahasiswa menyampaiakan pandangan politik, militer masuk kampus dan restriksi penelitian.
• Dari sekian banyak kasus di masa reformasi, beberapa tetap terjadi: diskusi dibatalkan, buku disensor, beberapa kelompok diskusi dibubarkan, mengkritik tidak hanya kebijakan pemerintah namun juga kebijakan kampus, yang sekarang model peretasan adalah sesuatu yang tidak terjadi di masa orde baru. Pembungkaman kritik ini menurut tidak hanya dilakukan oleh negara namun juga aktor lain
• Teror bisa melahirkan praktik self censorship yang akan menurunkan penelitian kita pada akhirnya. Kalau teror ini dibiarkan terus terjadi, yang terancam tidak hanya demokrasi namun juga ilmu pengetahuan itu sendiri. Dan itu akan jadi kerugian besar bagi dunia akademik
• Feodalisme di kampus itu sendiri ini juga perlu kita kritik secara serius dan otonomi kampus mestinya tidak hanya dana namun kebijakan kampus
• Perlu dibangun sistem perlindungan dari internal kampus sendiri kepada mereka yang rentan.
Jakarta, 1 Juni 2020
BACA JUGA