Paris Agreement Dorong Penggunaan Atap Surya

TN, trustnews.id
Rabu, 19 Februari 2020 | 07:22 WIB


Paris Agreement Dorong Penggunaan Atap Surya
Foto: istimewa
Meski mengalami peningkatan jumlah pengguna atap surya, dirasakan masih sangat terbatas dibandingkan trend masyarakat global. 

PT. Jembo Energindo (JE) bukan jago kandang. Saat dalam negeri kebanjiran produk atap surya dari negara lain,  perusahaan ini justru melenggang di jalur ekspor.
Perusahaan yang berlokasi di Jalan Padjajaran, Tangerang ini, sudah dari 2013, rutin mengekspor puluhan kontainer panel surya ke Australia, Belanda dan German. 
Direktur Jembo Energindo, Edwin Tanudjaja, mengatakan, jalur ekspor yang diambil perusahaan terkait pola pikir konsumen memilih barang yang sama dengan harga lebih murah. 
“Kalau barangnya sama ngapain beli yang mahal. Nggak apa-apa juga, namun saat membeli tidak diinfokan ke pembeli. apakah pabrikan yang mengimpor dari China itu masih ada 5 tahun atau 10 tahun ke depan. kalau JE berani menjamin garansi sampai 20 tahun untuk atap surya dan 3 tahun untuk inventernya, karena kami pabrikan lokal dengan teknologi yang diakui dunia internasional,” ujarnya pada TrustNews. 
Pasar luar negeri, lanjutnya, kondisi masyarakatnya lebih menggemari penggunaan atap surya. Ini disebabkan solar panel juga dianggap memiliki sustainability yang baik terhadap lingkungan. 
“Konsumennya pun kalangan perumahan. Menurut data tahun 2018, ada sekitar  2 juta rumah tangga pengguna atap surya di Amerika Serikat sebagai pembangkit listrik utama. Lebih dilatarbelakangi masalah lingkungan,” paparnya.
Meningkatnya penggunaan atap surya oleh masyarakat global, menurutnya, terdorong dari isu pemanasan global. Hal inilah memunculkan kesepakatan Paris (Paris Agreement) terkait pengurangan emisi gas karbon dioksida (efek rumah kaca) di dunia setelah tahun 2020.   
“Pilihannya ada pada atap surya yang mengubah sinar matahari menjadi listrik dengan sel-sel photovoltaic (PV), karena dapat mengganti bahan bakar fosil yang selama ini menjadi penghasil listrik utama di dunia,” urainya. 
Panel surya juga, lanjutnya, tidak menghasilkan residu atau gas buang sehingga tidak mencemari alam seperti pembangkit listrik konvensional.
“Ketiadaan gas buang dan kian menipisnya bahan bakar fosil. Sedangkan cahaya matahari tidak akan pernah habis plus tidak ada polusi,” ucapnya.
Selain masalah lingkungan hidup, paparnya, atap surya jauh lebih ekonomis dari segi biaya yang dikeluarkan. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang dapat menyimpan cahaya matahari, yakni baterai. 
“Keberadaan baterai untuk menampung menyebabkan pemakaian atap surya bisa 24 jam. Siang menggunakan atap surya dan malam menggunakan baterai. Sehingga tagihan pemakaian listrik bisa jauh berkurang,” ungkapnya.  
Indonesia yang ikut terlibat dalam Perjanjian Paris, lanjutnya, terlibat aktif melalui pelaksanaan berbagai kebijakan seputar Energi Baru Terbarukan (EBT). 
Apalagi, Indonesia memiliki potensi energi surya sebesar 4,8 Kwh/m2 atau setara dengan 112.999 giga watt peak (GWP). Potensi ini sepuluh kali lipat dari potensi yang dimiliki Jerman dan sebagian besar negara di kawasan Eropa.
“Perhatian pemerintah cukup tinggi, namun komitmen masih kurang. Komitmen juga tinggi sebetulnya, hanya saja pelaksanaannya kurang. Komitmen dan pelaksanaan beda,” tegasnya.
Padahal konsumen di dalam negeri, menurutnya, terus mengalami kenaikan. Merujuk data yang dilansir PLN, sepanjang tahun 2018 lalu tercatat 592 pelanggan PLN menggunakan atap surya. Jumlah ini kembali naik di Juli 2019 menjadi 1059 pelanggan PLN menggunakan atap surya.
“Kita berharap kenaikan jumlah pemakai atap surya memberi nilai tambah terhadap penjualan atap surya buatan dalam negeri. Pemerintah wajib melindungi pabrikan dalam negeri dari serbuan atap surya impor,”  pungkasnya. (TN)