Langkah Konkret Kemenmarves Wujudkan Indonesia Emas 2045
Senin, 15 Juli 2024 | 13:32 WIB
Dalam rangka itu, pemerintah pun sedang menyiapkan Undang-Undang RPJPN 2025-2045 yang ditargetkan rampung pada akhir tahun 2024. Seperti telah sering digaungkan, pada usia 100 tahun kemerdekaannya (2045), Indonesia diharapkan menjadi negara maju.
Sebuah mimpi tidak muluk-muluk, dan semoga bisa diwujudkan. “Kita lihat Amerika butuh waktu lebih dari 250 tahun untuk menjadi negara maju. Tapi kita ingin mem-bypass itu agar dalam jangka waktu 100 tahun kita sudah bisa menjadi negara maju. Inilah mengapa ada istilah Indonesia Emas 2045,” terang Kepala Biro Komunikasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenmarves), Andreas Dipi Patria dalam keterangannya kepada Trustnews belum lama ini.
Berangkat dari komitmen tersebut, lanjutnya, munculah berbagai ide strategis bagaimana menggapai Indonesia emas, salah satunya mendorong melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), agar Indoenesia yang dikenal sebagai negara maritim, yang diungkapkan melalui domain negara nusantara, sebagai minifestasi Indonesia sebagai negara kepuluauan terbesr di dunia. Ini artinya segenap bangsa Indonesia harus concern dengan geostrategis dan geopolitik yang dimilikinya.
“Kita merupakan negara kepulauan yang harus dijaga kedaulatannya secara maksimal. Untuk itu dibutuhkan kekuatan diplomasi dan ekonomi yang jauh lebih kuat, karena resource kita terletak disini. Ditambah lagi, semua stakeholder yang terlibat dalam pembangunan ekonomi maritim harus mengedepankan perannya masing-masing, baik dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, investor, perguruan tinggi, sektor swasta, dan banyak pihak lainnya yang terlibat,” jelas Andreas.
Indonesia sendiri dengan 38 provinsi plus karakternya masing-masing, mulai dari provinsi-provinsi yang paling kaya sampai provinsi yang tertinggal, punya kekuatannya masing-masing. Provinsi tertinggal ini juga di dalamnya, banyak kota atau kabupaten yang tertinggal, bukan karena tidak punya resources tapi akses dari kegiatan ekonomi yang sangat minim.
Singapura bisa maju karena negara ini hanya satu pulau, sehingga Pembangunan di negara bisa terselesaikan secara merata, tidak membutuhkan waktu yang cukup lama. Berbeda halnya dengan Indonesia, tidak mungkin dapat memberikan pemerataan pembangunan hanya dalam jangka waktu 10 tahun.
Makanya kenapa Pemerintahan Joko Widodo mendorong pengembangan infrastruktur konektifitas, tujuannya agar pertukaran barang cepat berputar dan perekonomian berjalan maksimal. “Kalau kita tidak melakukan pemerataan infrastruktur maka akan terjadi ketimpangan. kita punya data ketimpangan ekonomi antara Pulau Jawa dan Non Pulau Jawa. Sebanyak 80% perputaran ekonomi di Jawa.
Lebih dari 70% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, kalau kita kaitkan dengan politik, maka kita bisa ambil kesimpulan jika paslon unggul di Jawa maka kemungkinan besar dia akan menang, karena orang Indonesia cenderung tinggal di Pulau Jawa, sehingga terjadilah disparitas (perbedaan atau jarak), ” katanya.
Maka dari tu, pemerintah dalam periode ini mencoba menyeimbangkan semuanya, atau ada pemerataan yang lebih baik. Caranya melalui investasi yang didorong di luar Pulau Jawa. “Saat ini pun, pilihan investasi di pulau jawa mulai berkurang karena ruang, resources di Pulau Jawa sudah tidak banyak lagi,” sergah Andreas.
Namun demikian, jika investor sudah masuk di luar Pulau Jawa, maka kebutuhan dasar wilayah tentunya harus dipenuhi dengan baik. Maka dari itu kebuthan-kebutuhan inilah yang terus dikembangkan pemerintah, baik sarana air, sekolah, kesehatan dan lainnya. Kalau semuanya sudah dilengkapi, dipastikan daya Tarik ekonomi akan berpindah ke wilayah luar Jawa. Kami yakin dengan pergerakan barang jasa dan manusia bisa menekan harga dari suatu tempat ke tempat lainnya, yang unik itu manusia tersebar banyak tapi resources tidak selalu melimpah dan tersebar merata di setiap tempat.
Jika makanan pokoknya nasi, maka areal persawahannya tetap di pulau-pulau besar seperti, Jawa, Kalimantan dan Sumatra. Tapi untuk pulau-pulau kecil, membutuhkan pasokan, maka pemerintah harus mendistribusikannya, karena pulau-pulau kecil itu tidak mungkin dikembangkan areal persawahan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya.
Jika konektivitas antar pulau ini tidak tersedia, maka akan mempengaruhi harga distribusi yang sangat mahal, itu mengapa kita meyakini ekonomi maritim ini harus dipersiapkan dengan infrastruktur dan konektivitas, karena negara kita kepulauan, jika konektivitas tidak terjadi maka akan terjadi disparitas harga,” kata Andreas meyakinkan. (TN)
BACA JUGA