Lebih Dekat Melihat Pesantren

TN, trustnews.id
Senin, 30 September 2019 | 06:55 WIB


Lebih Dekat Melihat Pesantren
Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, MA, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Penyebaran agama Islam di Indonesia, salah satunya melalui pengajaran yang kemudian dikenal dengan sebutan pesantren.

Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, MA, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, menjelaskan, ada dua hal yang harus dipahami dalam melihat pesantren. 
Pertama,   pesantren sebagai satuan pendidikan. Keberadaannya, hanya menyelenggarakan pendidikan kitab kuning. Sistem pendidikannya berorientasi kepada pendidikan pesantren yang awal-awal muncul. 
Kedua, pesantren sebagai penyelenggara pendidikan. Keberadaannya, selain menyelenggarakan pengajian kitab kuning, juga menyelenggarakan berbagai jenis dan bentuk pendidikan. Seperti sistem madrasah, pendidikan muadalah, pendidikan kecakapan hidup, pendidikan tinggi baik keagamaan maupun umum dan pendidikan lainnya.
“Masih ada kerancuan dalam masyarakat soal pesantren, seolah-olah pesantren itu hanya mengajarkan kitab-kitab klasik. Sedangkan sekolah formal semacam madrasah itu bukan pesantren. Tetap saja itu pesantren sebagai penyelenggara pendidikan,” ujarnya.

Potret 10 tahun Pendidikan Pesantren
 
1.Survei Pengajaran Kitab Kuning di pesantren (2011): Survei pada 951 pesantren di 15 provinsi.
Kesimpulan: Dari jumlah 289 kitab kuning yang disurvei, frekuensi pengajaran kitab kuning dalam beragam bidang keilmuan tergolong rendah dilihat dari frekuensi pengajaran kitab-kitab pilihan kyai maupun santri. Rendahnya pengajaran kitab kuning di pesantren secara kuantitas yaitu dengan melihat data jumlah kitab dan gradasi tingkat kitab yang diajarkan. 

2. Pemetaan Kapasitas Kelembagaan Pesantren (2014): Survei terhadap 783 pesantren di Indonesia.
Kesimpulan: 
(1) Pemetaan kapasitas kelembagaan pesantren ini menghasilkan tipologi pesantren yang ditetapkan, yaitu pesantren ideal, pesantren transformatif dan pesantren standar.
(2) Sebuah pesantren harus memenuhi aspek-aspek sebagai berikut: aspek legal formal pesantren, kiai, santri mukim, masjid (laboratorium agama), sumber belajar, sarana pendidikan asrama, ruang belajar, perpustakaan, sistem nilai (kultur pesantren) dan sarana penunjang kemandirian pesantren. 
(3) Unsur yang dominan dalam mempengaruhi peningkatan kapasitas pesantren adalah ketersediaan sarana.

3. Indeks Kapasitas Pesantren (IKP) di 14 (Empat Belas) Ibu Kota Provinsi (tahun 2015)
Nilai kultur pesantren sebagai salah satu variabel pembentuk IKP, indeksnya pada hampir seluruh kota ibu kota provinsi relatif tinggi. Namun pada setiap ibukota provinsi, indeks nilai kultur pesanten tersebut mengandung variabilitas yang tinggi, atau sangat heterogen. 
Dengan kata lain, tingginya indeks kultur pesantren belum menggambarkan realitas yang sebenarnya pada segenap pesantren dalam kota yang sama. Hal serupa terjadi pada indeks variabel motivasi ustadz. Indeks-indeks variabel: SDM, kemampuan bertahan dan gaya kepemimpinan kiyai adalah indeks-indeks yang relatif rendah, hampir di setiap pesantren dalam kota yang sama, bahkan juga antar kota ibukota Provinsi. Artinya, persoalan-persoalan dinamika pesantren masih terkait dengan kondisi real variabel-varibel tersebut.

4. Jaringan Pendidikan di Pondok Pesantren (2016): Jaringan pendidikan di pondok pesantren tidak bisa dipisahkan dari orientasi pendidikan di pesantren sasaran. Sebagai lembaga pendidikan keagamaan atau lembaga pendidikan berbasis agama, orientasi pendidikan pesantren memiliki hubugan dengan visi yang dibuat, misi yang dijalankan, program pendidikan yang diselenggarakan, kurikulum yang dipakai, pola kepemimpinan, pengaruh ideologi dan paham keagamaan serta jaringan yang terbangun dengan dunia luar, sampai kepada peran pesantren yang semakin luas (wider mandate). 
Dari perspektif orientasi pendidikan dan pengembangan kebjakan pendidikan melahirkan ragam dan varian pesantren. Kajian ini kemudian memetakan tiga kategorisasi pesantren menjadi: (a) ragam pesantren salaf dengan variannya, (b) ragam pesantren khalaf dengan sebutan "pesantren modern', dan (c) ragam pesantren salafi yang tidak bisa lepas dari gerakan salafi di Indonesia yang memiliki akar dalam gerakan reformasi di Indonesia.

5. Melalui kajian jaringan pesantren, instansi pemerintah dan pihak terkait lainnya mengupayakan agar pesantren yang belum memiliki izin operasional pendirian pesantren untuk menyelesaikan pengurusan izin tersebut. 
kedua, pendidikan salafi diupayakan oleh semua pihak terkait agar diselaraskan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan ketentuan peraturan terkait lainnya. 
Ketiga, semua pesantren diharapkan membina para alumninya supaya memupuk rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air Indonesia serta bersikap toleran. 
Keempat, instansi pemerintah terkait bekerjasama dengan pesantren memberikan pendidikan wawasan kebangsaan yang lebih intensif kepada para pembina dan santri, dan kelima, pemerintah perlu memfasilitasi forum komunikasi antar pesantren.