Petani Indonesia Menjaga Tradisi di Era 4.0

TN, trustnews.id
Selasa, 10 September 2019 | 02:51 WIB


Petani Indonesia  Menjaga Tradisi di Era 4.0
Ilustrasi
Mengubah mindset para petani tradisional agar tak lagi menggunakan api pewaris tradisi dalam membuka lahan.

Saat kebakaran hutan dan ladang melanda beberapa wilayah di negeri ini, terbayang wajah-wajah muram para petani yang berpeluh keringat. Beberapa petani dituding sebagai penyebabnya. Bahkan, beberapa diantaranya ditangkap. “Kami hanya melakukan apa yang para leluhur lakukan,” ujar para petani tradisional kebingungan. 
Sebuah pola membuka lahan dengan cara membakar bukan hal baru bagi masyarakat lokal, masyarakat adat, masyarakat kampung dan masyarakat pedalaman. Sebuah pola yang sama dilakukan secara turun-temurun. Kini bisa berakhir di balik jeruji penjara.
Sistem membakar lahan di nilai, kerap memicu kebakaran yang jauh lebih luas dan hebat. Namun bagi para petani tradisional, apa yang mereka lakukan hanya mempertahankan tradisi dan untuk bertahan hidup. Sementara di sisi lain, perusahaan selaku pengelola lahan perkebunan juga menampik sebagai ‘biang kerok’ kebakaran hutan dan lahan. 
Bak menebak, mana lebih dulu telur atau ayam. Sementara, tiap tahun kebakaran hutan dan lahan terus saja terjadi.  Migrasi pola bertani tradisonal menjadi bertani modern, menjadi jawaban untuk memungkasi akhir cerita nestapa petani berujung penjara.
Pola migrasi tersebut, para petani tradisional perlahan meninggalkan korek api, rokok, obat nyamuk dan seliter bahan bakar dalam membuka lahan. Lalu mulai beralih menggunakan traktor roda dua, traktor roda empat, pompa air, rice transplanter, cooper, cultivator, exavator, hand sprayer, implemen alat tanam jagung dan alat tanam jagung semi manual.
Menengok para petani di beberapa negara maju, semisal Jepang, Belanda dan Amerika. Penerapan konsep pertanian modern,  mampu membuat sistem pertanian lebih efektif, produktif, efisien serta bisa dilakukan dimana saja.
Keterbatasan luas lahan dan tenaga kerja, mampu disiasati dengan menggunakan bantuan traktor canggih. Lahan 1 hektar yang biasanya dikerjakan oleh 20 orang, cukup dikerjakan dengan 3 orang saja.
Begitu juga dengan keterbatasan cahaya matahari, disiasati dengan menggunakan cahaya buatan (LED), sehingga proses budidaya tanaman bisa dilakukan dalam gedung. 
Berbanding terbalik dengan Indonesia. Bermandi cahaya matahari dan lahan nan subur. Tentu jauh lebih memudahkan pengerjaan dengan luasan hektaran sawah menggunakan traktor, dibanding bajak (luku) atau api (membakar).
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan), selama empat tahun terakhir (2015-April 2019), telah menyalurkan bantuan Alsintan tidak kurang dari 350 ribu unit, yang terdiri dari traktor roda dua, traktor roda empat, pompa air, rice transplanter, cooper, cultivator, exavator, hand sprayer, serta implemen alat tanam jagung dan alat tanam jagung semi manual.
Dengan rincian pertahunnya, 2015, Alsintan yang disalurkan sebanyak 54.083 unit. Pada 2016 sebanyak 148.832 unit, pada 2017 sebanyak 82.560 unit, dan pada 2018 sebanyak 112.525 unit. Alsintan tersebut diberikan kepada kelompok tani/gabungan kelompok tani, UPJA, dan brigade Alsintan.
Tak hanya Alsintan, Ditjen PSP pun melakukan rehabilitasi jaringan irigasi, irigasi perpompaan serta pengembangan embung/ dam parit/ long storage. irigasi perpompaan telah ditingkatkan selama 3 tahun terakhir (2016 – 2019). Total kegiatan irigasi perpompaan selama 3 tahun sebanyak 2.358 unit. Dengan estimasi luas layanan per unit seluas 20 ha maka luas areal yang dapat diairi saat musim kemarau seluas 47,16 ribu hektar. 
Adapun untuk mendukung komoditas hortikultura dan perkebunan telah dibangun irigasi perpompaan sebanyak 429 unit. Dengan estimasi per unit seluas 10 ha, maka luas areal yang dapat diairi pada musim kemarau seluas 4.290 ha. 
Sedangkan buat mendukung komoditas peternakan dan populasi ternak ruminansia, irigasi perpompaan yang telah dibangun sebanyak 322 unit. Dengan estimasi 1 unit perpompaan dapat melayani kebutuhan air 10 ekor ternak maka terdapat 3.220 ekor ternak yang terjamin ketersediaan air minum dan sanitasi kandang. 
Sementara itu, bangunan embung yang telah terbangun sebanyak 2.962 unit dengan estimasi luas layanan dari embung, dam parit, long storage seluas 25 ha. Maka potensi akan mampu memberikan dampak pertanaman seluas 73,850 ha. 
Adapun untuk mendukung hortikultura dan perkebunan pengembangan embung yang dilakukan sebanyak 39 unit. Dengan estimasi 10 haper unit, maka luas areal yang dapat pelayanan air di musim kemarau  390 ha. 
Sedangkan pengembangan embung buat mendukung peternakan sebanyak 5 unit dengan estimasi per unit 10 Ha. Maka luas areal Hijauan Makanan Ternak dapat di airi sebanyak 50 Ha.
Ditjen PSP pun telah pula melirik lahan rawa. Program Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani (Serasi). Pelaksanaan Serasi diimplementasikan melalui kegiatan optimasi lahan rawa (lebak atau pasang surut) dengan fokus peningkatan produktivitas dan Indeks Pertanaman (IP). 
Program Serasi sendiri sudah dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) 220.000 ha, Kalimantan Selatan (Kalsel) 153.363 ha, dan Sulawesi Selatan (Sulsel) 33.505 ha. Adapun provinsi berikutnya yang masuk Program Serasi yakni Lampung, Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Barat (Kalbar) dan Riau. 
Dari sektor pupuk, Ditjen PSP Kementan sedang berupaya menertibkan berbagai pelanggaran-pelanggaran di sektor pupuk dan pestisida.  Saat ini, pupuk terdaftar terdiri dari anorganik 1.650 merk, organik 765 merk, dan pupuk formula khusus 26.169,179 ton. Sementara itu, pestisida terdaftar sebanyak 4.437 formulasi. Terdiri dari insektisida 1.530 formulasi, herbisida 1.162 formulasi. Lalu fungisida, rodentisida, pestisida rumah tangga dan lain-lain 1.745 formulasi. 
Bahkan dalam upaya memberikan ketenangan kepada petani, Ditjen PSP juga telah mengeluarkan program Asuransi Usaha Tanaman Pangan (AUTP) dan Asuransi Usaha Ternak Sapi/Kerbau (AUTSK) sejak 2016. Pelaksanaan asuransi pertanian dilakukan bekerjasama dengan PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo).
AUTP menawarkan ganti rugi sebesar Rp 6 juta per hektar, dengan masa pertanggungan sampai dengan masa panen (empat bulan). Sementara itu AUTSK menjamin hewan ternak dengan premi Rp 200.000 per ekor per tahun, Rp 160.000 ditanggung pemerintah dan sisa Rp 40.000 dari swadaya petani dengan ganti rugi yang dibayarkan sebesar Rp 10 juta per ekor.
Beragam upaya yang dilakukan Ditjen PSP, merupakan langkah kecil dalam mengubah pola bercocok tanam dari tradisonal menjadi modern. Apalagi di era industri 4.0, sudah waktunya para petani melek teknologi, selain memberikan  kemudahan juga menghasilkan panen yang berlimpah.(TN)