Kepak Sayap Bisnis PLNE
Minggu, 17 Maret 2024 | 22:24 WIB
Dok, Istimewa
Sektor transportasi sendiri masih menjadi pengguna energi terbesar (42%) dimana Sebagian besar berasal dari penggunaan bahan bakar minyak yang diimpor. Pada tahun 2020, impor bahan bakar mencapai 61 juta barrel minyak atau setara pengeluaran devisa 2,7 Miliar USD atau setara Rp 40 Triliun.
Salah satu upaya untuk menurunkan impor bahan bakar minyak adalah dengan menggalakkan penggunaan kendaraan listrik melalui percepatan program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Percepatan ini bisa dipenuhi dengan kendaraan baru maupun melalui kendaraan konversi BBM ke listrik.
Trend yang berubah tersebut dimaknai PLNE sebagai peluang bisnis yang menjanjikan. Sebagai entitas anak PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), diusianya yang ke-21 tahun, PLNE mengepakkan sayap bisnisnya ke sektor penunjang kendaraan listrik. Sebut saja, menyediakan desain SPKI (stasiun pengisi kendaraan listrik umum) dan desain kendaraan listrik (desain engineering).
“Awalnya PLNE ditugaskan untuk membangun SPKI. Dalam perjalanannya, kita melihat permintaan kendaraan listrik masih rendah. Agar permintaan kendaraan listrik meningkat tentu terkait dengan harga yang bersaing dan di produksi di dalam negeri. Posisi PLNE menyediakan desain SPKI dan kendaraan listrik (desain engineering),” ujar Chairani Rachmatullah, Direktur Utama PLNE.
Tak sampai disitu, lanjutnya, PLNE juga mendesain pembangkit-pembangkit EBT, termasuk mendesain ulang PLTU yang dalam kurun waktu tertentu akan dipensiunkan.
“Sebelum dipensiunkan PLTU yang masih beroperasi diwajibkan meminimalisir emisi, maka PLNE menyediakan teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) dan Continous Emission Monitoring System (CEMS). Termasuk juga PLNE masuk ke bisnis dokumen kelistrikan atau dikenal Power System and Digital Center (PSDC),” paparnya.
Sebagai informasi, CEMS berfungsi untuk memonitor emisi secara berkelanjutan. CEMS ini dipasang pada semua PLTU kapasitas diatas 25 MW untuk melakukan pengendalian emisi secara real time. Sedangkan CCUS adalah teknologi yang bisa menangkap karbon dioksida yang terlepas ke atmosfer.
Chairani menjelaskan, upaya PLNE melebarkan sayap bisnisnya memberikan hasil positif bila dilihat dari kenaikan signifikan berasal dari pendapatan enjiniring dan pendapatan jasa pengembangan enjiniring, masing-masing 25% dan 22% lebih besar dari target RKAP tahun 2022. Sedangkan bila dibandingkan dengan tahun 2021, pendapatan PLNE ada miliar pada 2021 menjadi Rp 460,42 miliar. Hal itulah yang mendorong laba perseroan tahun 2022 meningkat jadi Rp 86,043 miliar dari tahun 2021 sebesar Rp 63,443 miliar.
Dengan kinerja keuangan yang prima, kontribusi PLNE terhadap PLN pun membaik. Tahun 2022, PLNE berkontribusi melakukan pembayaran dividen secara tunai sebesar 100% dari laba bersih tahun 2021.
Sementara itu, kas dan setara kas Perseroan tahun 2022 terbesar sepanjang tiga tahun terakhir, dengan persentase pada cash on hand sebesar 53% dan notional poolling sebesar 47% atau Rp 238 miliar.
Kontribusi pada pendapatan beyond kwh Perseroan mencapai 128% dari target yang telah ditetapkan dengan margin laba sebesar 52% dari total pendapatan. Perseroan juga telah berkontribusi dengan maintenance NAC sebesar 5% dari total biaya operasi.
Hal itulah yang membuat perolehan kontrak jasa enjiniring PLNE selama ini masih didominasi oleh kontrak dari PLN. Tahun 2022, nilai kontrak jasa dari PLN mencapai Rp 270,33 miliar ketimbang non-PLN Group yang hanya Rp 13,31 miliar. Sepanjang tahun 2022, PLNE mampu menambah 25 pelanggan baru. Sekitar 35% dari total penjualan merupakan produk pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
Dari sisi keuangan, menurut Chairani, kinerja PLNE tahun lalu tumbuh cukup baik, terutama dari sisi pendapatan yang mencapai Rp 536 miliar, melampaui target dalam RKAP 2022 sebesar Rp 431 miliar.
BACA JUGA