Perdagangan Karbon Di Lahan Perkebunan
Senin, 11 September 2023 | 23:31 WIB
Pemerintah Provinsi Kaltim telah menerima pembayaran tahap pertama rtama dari program Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) – Carbon Fund sebesar USD 20,9 Juta (atau setara Rp69,154 Miliar).
Sedangkan pembayaran secara penuh (USD 110 Juta, hampir senilai RP. 1,7 Triliun) akan diberikan setelah finalisasi verifikasi oleh pihak ketiga (auditor independen).
Dana insentif sekitar Rp313 miliar akan disalurkan kepada Pemprov Kaltim dan 8 kabupaten/kota sebesar Rp260 miliar. Dimana Rp110 miliar melalui skema APBD dan Rp150 miliar akan disalurkan kepada 441 desa melalui lembaga yang ditunjuk Pemprov Kaltim.
Dana tersebut oleh Pemprov Kaltim dibagikan untuk Pemkot Balikpapan Rp3,04 miliar, Berau Rp7,3 miliar, Kutai Barat Rp5,7 miliar, Kutai Kartanegara Rp4,1 miliar, Kutai Timur Rp6,8 miliar, Mahakam Ulu Rp4,5 miliar, Paser Rp6,3 miliar, dan Penajam Paser Utara Rp3,2 miliar.
Sementara, Samarinda dan Bontang tidak mendapatkan dana. Ini berdasarkan penilaian Bank Dunia dan BPDLH Kementerian Keuangan maupun KLHK. Karena perhitungan pembiayaan dana penurunan emisi karbon berdasarkan penutupan lahan.
Delima Hasri Azahari, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI), mengapresiasi capaian dan terobosan yang dihasilkan Pemprov Kaltim dalam mewujudkan perdagangan karbon.
"Apa yang dihasilkan Kaltim dalam perdagangan karbon itu pencapaian yang luar biasa. Ini dinamika yang menarik terkait isu perkebunan memberi sumbangan pada emisi karbon," ujar Delima.
"Selama ini perkebunan identik dengan deforestasi, bahkan kerap menjadi isu negatif di forum-forum internasional untuk menekan suatu pihak. Ternyata ada juga sisi positifnya yakni kemampuan untuk menyerap emisi karbon dalam pengendalian krisis iklim," paparnya.
Penyerapan emisi karbon, menurutnya, baru satu sisi positif dari sekian banyak hal positif lainnya. Mulai dari penyerapan tenaga kerja, diversifikasi produk perkebunan dan tanaman pangan hingga sumber pendapatan negara.
"Ada program pertanian regeneratif yakni tumpang sari yang memungkinkan petani untuk mendiversifikasi mata pencaharian mereka dengan memproduksi lebih dari satu tanaman untuk dijual. Jadi petani tidak hanya mengandalkan hidup dari perkebunan, tapi membuat lahan menjadi sumber pangan," urainya.
Terkait masalah perdagangan karbon, menurutnya, perkebunan Indonesia memiliki potensi besar dalam perdagangan karbon untuk menambah pendapatan negara. Tengok saja, perkebunan kelapa sawit kini mencapai 16,38 juta hektare. Dari luas itu, perkebunan kelapa sawit mampu menyerap 2,2 miliar ton emisi setara CO2 setiap tahun.
Serapan karbon kelapa sawit itu hampir setara produksi emisi Indonesia tanpa mitigasi sebesar 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030. Artinya, cukup dengan perkebunan kelapa sawit, Indonesia tak perlu menunggu hingga 2060 untuk mencapai net zero emissions atau nol-emisi bersih seperti target dalam nationally determined contributions (NDC).
"Itu baru dari sawit, sementara sektor perkebunan tidak hanya sawit. Tapi ada teh yang luas lahannya 100.500 ha, kelapa dengan luas 3,34 juta, kakao luas lahan 1,44 juta dan kopi dengan luas lahan 1,29 ha. Bila luasan lahan ini digabungkan dengan luas lahan sawit tentu bisa diperkirakan berapa miliar ton serapan emisi karbonnya," ungkapnya.
Hanya saja, menurutnya, untuk mewujudkan itu semua butuh komitmen kuat dari semua stakeholder perkebunan dalam menjalankan program Emission Reduction (ER) yang mencakup peningkatan kapasitas pencegahan kebakaran hutan dan lahan, menyediakan fasilitasi alat-alat pemadam kebakaran, mendukung dan memfasilitasi masyarakat dan petani untuk memenuhi standar kelapa sawit berkelanjutan dan kawasan nilai konservasi tinggi, mendukung KPH dan Tahura dan kegiatan perhutanan sosial.
"Kami melihat potensi dan komoditi perkebunan bukan hanya menjual dalam bentuk fisik, tapi ada kesempatan untuk menilai carbon saving. Bagaimana mereka menurunkan emisi karbon dan komitmennya. Disamping peningkatan produksi dan menjaga komoditi pasar," pungkasnya.
BACA JUGA