Jalan Panjang Konservasi Alam Indonesia
Sabtu, 12 Agustus 2023 | 04:26 WIB
Dok, Istimewa
Namun satu hal yang patut dibanggakan, Indonesia merupakan negara mega biodiversitas di dunia. Itu berarti Indonesia adalah negara kepulauan yang dianugerahi kekayaan keanekaragaman hayati dengan tingkat endemisitas yang sangat tinggi.
Hal ini didukung dengan jumlah kawasan konservasi seluas 27.048.933,11 Ha: yang meliputi area terestrial dan perairan; berupa 212unit Cagar Alam, 80 unit Suaka Margasatwa, 54 unit Taman Nasional, 133 unit Taman Wisata Alam, 36 unit Taman Hutan Raya, 11 unit Taman Buru, serta 34 unit Kawasan Suaka Alam Kawasan Pelestarian Alam atau kawasan konservasi yang belum ditetapkan fungsinya secara definitif.
Bahkan, sebanyak 1.771 jenis burung di dunia diketahui berada di Indonesia, bahkan 562 jenis diantaranya berstatus dilindungi. Status ini ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018, tentang Jenis Tumbuhan Satwa yang Dilindungi, yang terbit pada tanggal 29 Juni 2018.
Selain jenis burung, dalam peraturan ini juga tercantum jenis lain yang dilindungi, yaitu 137 jenis mamalia, 37 jenis reptil, 26 jenis insekta, 20 jenis ikan, 127 jenis tumbuhan, sembilan jenis dari Krustasea, Muluska dan Xiphosura, serta satu jenis amphibi, sehingga total 919 jenis.
Adapun terkait konservasi dapat merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pengertian konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Satyawan Pudyatmoko, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), mengatakan, upaya konservasi selalu dilakukan melalui perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan (3P). Hal ini meliputi hampir seluruh aspek, upaya, dan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati.
"Upaya pemanfaatan selalu dilakukan dengan penuh kehati-hatian karena keberadaan SDA hayati yang irreversible. Pemanfaatan spesies dan genetik tentu saja dilakukan secara bersama dengan otoritas keilmuan di Indonesia, dalam hal ini BRIN yang berwenang memberikan rekomendasi kepada KLHK," ujar Satyawan Pudyatmoko menjawab TrustNews.
"Bentuk-bentuk pemanfaatan lain untuk jasa lingkungan tentu saja dilakukan setelah sebelumnya melalui berbagai kajian kelayakannya," tambahnya.
Pemerintah, lanjutnya, selalu menerapkan pola pemanfaatan yang lestari dengan prinsip “ex-situ link to in-situ”. Dimana konservasi Ex-Situ adalah upaya pelestarian keanekaragaman hayati dilakukan tidak pada habitat aslinya, namun habitat buatan. Metode ini menjadi alternatif bila habitat asli spesies itu sudah rusak, sehingga tidak layak untuk digunakan. Jika ingin mengembalikan fungsi habitat aslinya membutuhkan waktu yang lama.
Sedangkan Konservasi In-Situ merupakan upaya pelestarian keanekaragaman hayati berupa flora dan fauna yang dilakukan di habitat asli spesies. Kondisi lingkungan yang digunakan sebagai tempat konservasi harus dalam kondisi layak dan terjaga.
"Dalam upaya konservasi, publik dilibatkan dalam berbagai aspek, baik dalam praktek konservasi di lapangan maupun dalam hal-hal yang terkait dengan pengetahuan konservasi, kampanye dan penyadartahuan, serta pemanfaatan SDA secara bijak dan lestari," ucapnya.
Begitu juga dalam pengelolaan kawasan konservasi, menurutnya, terdapat upaya kemitraan konservasi dan pemberdayaan masyarakat yang melibatkan masyarakat sekitar kawasan konservasi sebagai mitra pengelola kawasan yang mendapatkan akses pemanfaatan potensi kawasan.
"Dalam upaya pengembangan pengetahuan konservasi, terdapat banyak mitra pemerintah (lembaga akademik, NGO-CSO, maupun perorangan) yang berperan aktif. Citizen science juga berkembang dengan baik di Indonesia, terutama dalam upaya kampanye dan penyadartahuan, serta pemetaan keberadaan dan sebaran keanekaragaman hayati," pungkasnya.
BACA JUGA