Komite III DPD Revisi UU Narkotika

TN, trustnews.id
Jumat, 05 Juli 2019 | 11:25 WIB


Komite III DPD Revisi  UU Narkotika
Komite III DPD RI, Abdul Azis Kafia
Revisi difokuskan untuk memberikan porsi besar pencegahan daripada melakukan pemberantasan.

Peredaran dan penggunaan narkotika di tanah air kian mengkhawatirkan. Tidak saja penggunanya yang menyasar kalangan muda, dari jenisnya pun semakin bervariasi. Sepanjang 2018,   berdasarkan hasil penelitian BNN prevalensi atau kecenderungan penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar atau mahasiswa sebesar 3,21 persen atau setara dengan dua juta orang. Sedangkan pada pekerja sebesar 2,1 persen atau 1.514.037 orang.
Sementara itu, data dari berbagai negara menemukan sekitar 803 narkotika jenis baru (New Psychoactive Substances/NPS) dan 74 di antaranya telah beredar di Indonesia. Dari jumlah NPS yang beredar, baru 66 jenis yang diatur penggunaannya dalam peraturan Menteri Kesehatan. Sementara 8 jenis sisanya belum diatur.
Tingginya peredaran dan penyalahgunaan narkotika menjadi alasan bagi Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI merevisi Undang-Undang No. 35 tentang Narkotika. Salah satu poin yang diusulkan dalam UU tersebut adalah memperbesar porsi pencegahan daripada upaya pemberantasan.
Hal itu disampaikan anggota Komite III DPD RI, Abdul Azis Kafia dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah lembaga penggiat narkoba pada Mei lalu.
Abdul Azis menjelaskan kondisi real saat ini dengan percepatan informasi dibutuhkan undang-undang yang lebih tepat dengan kondisi kekinian. Menurutnya, revisi difokuskan untuk memberikan pencegahan daripada melakukan pemberantasan.
“Saya sangat setuju kita harus punya ketegasan jangan meniru negara lain terkait penegakan hukum. Kalau memang kita masih membutuhkan hukuman mati tetap saja dicantumkan hukuman mati dan itu diberlakukan buat pengedar, dan kalau buat pecandu memang harus direhabilitasi karena bagaimanapun statusnya sebagai korban. Tapi yang paling bahaya ini tetap pengedar,” ujar anggota asal DKI Jakarta ini.
Senada dengan itu, anggota Komite III lainnya Abdul Jabbar Toba menilai kenakalan remaja seharusnya tidak sepenuhnya disalahkan kepada remaja, karena peranan orang tua ikut menentukan sikap anak. Selain orang tua, peranan pemuka agama juga berperan penting dalam membekali remaja akan ilmu agama.
“Kedepan mulai SD sampai Perguruan Tinggi, remaja-remaja masjid, para kos-kosan perlu di dekati juga. Perlu kita dekati lagi tentang peranan agama di dalam pemberantasan narkoba ini, jadi perlu para ulama dan ustadzah kita dibekali bahan bagaimana dampak narkoba,” tambah anggota asal Provinsi Sulawesi Selatan tersebut.
Sedangkan Rafli Kande. Anggota Komisi III dari Provinsi Aceh, mengusulkan agar ganja menjadi pilot project untuk kepentingan dan kebutuhan medis.
"Ganja, bila tidak disalahgunakan sangat berguna untuk dunia medis. Saya rasa ini bisa menjadi pilot project di Aceh untuk dipergunakan khusus di dunia medis dan menjadi pusat kajian ilmiah, seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa negara berkembang saat ini," ujar Rafli.
Anggota Komite III, Herry Erfian menambahkan jika regulasi tidak memberi efek jera terkait hal rehabilitasi, maka tidak akan berdampak bagi pengurangan kejahatan narkoba di Indonesia. Untuk itu, Herry berharap adanya sanksi yang berat baik bagi pemakai atau pecandu, sehingga sama-sama memiliki efek jera untuk tidak lagi memakai narkoba atau pun bahan-bahan aktif lainnya.(TN)