Bicara Kemakmuran Melalui GDP
Sabtu, 15 Oktober 2022 | 08:37 WIB
Dok, Trustnews/Istimewa
"Rasio utang terhadap PDB dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal," jelas Kemenkeu dalam Buku APBN Kita edisi Juni 2022
Sejumlah masih menyangsikan hal tersebut. Apalagi, kondisi neraca pembayaran di Indonesia akhir-akhir ini mengalami ketidakseimbangan, di karenakan utang luar negeri meningkat. Keadaan dimana aliran uang luar negeri sebagai akibat dari impor barang dan jasa.
Pemerintah mengambil kebijakan utang luar negeri untuk meningkatkan cadangan dollar dalam negeri dimana dapat digunakan untuk menjaga nilai tukar rupiah. Maka dari itu, faktor-faktor yang mempengaruhi defisit neraca pembayaran dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan pada neraca perdagangan (balance of trade).
Adanya neraca perdagangan tidak lepas dari nilai tukar rupiah dalam negeri dan nilai tukar asing. Salah satu penyebab balance of payment mengalami defisit karena adanya defisit pada neraca perdagangan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan impor Indonesia masih lebih tinggi daripada produk yang diekspor.
Mantan pelaku industri pupuk dan kimi a di tanah air, Rauf Purnama menyarankan, salah satu mengurangi impor, khususnya BBM adalah dengan membangun biodiesel dari CPO. “Ini merupakan program yang sangat bagus, masalahnya dengan harga CPO $700 /ton harga biodiesel di atas Rp10.000 jadi harus disubsidi, kalau disubsidi uangnya dari mana?,” katanya.
Eropa menentang penanaman CPO dengan alasan merusak lingkungan, padahal CPO adalah tumbuhan yang banyak mengabsorbsi CO2. Jadi melestarikan lingkungan. Setelah Rauf mempelajarinya ternyata biofuel di Eropa itu tidak bisa bersaing dengan biofuel Indonesia karena mereka bikin biofuel dari tanaman rapeseed yang produksi biofuel per hektarnya jauh diatas produksi biofuel dari CPO, sehingga tidak bisa bersaing maka di cari-cari alasan.
“Jadi mereka tidak segan-segan masalah ekonomi dibawa ke masalah politik lingkungan demi memajukan ekonomi serta para petaninya, tetapi itu biasa dalam usaha persaingan bisnis,” tuturnya.
Rauf pernah mempersiapkan pembangun industri 12 pabrik pada jaman Presiden Suharto sampai jaman Gusdur. Dari 12 pabrik itu mayoritas (10 pabrik) pakai pinjamannya dari luar negeri dan semua ditenderkan. Bank Dunia mengawasi dan mengontrol.
Mulai dari siapa pemilik teknologinya sudah proven atau belum, siapa calon kontraktor Internasional dan kontraktor Nasional (dalam negeri) sebagai pendamping main kontraktor Internasional dan itu dilaporkan Lender untuk diaudit.
Waktu itu di era tersebut, Rauf menggelar beragam terobosan sebagai upaya untuk meningkatkan Gross Domestic Product (GDP) bangsa. Dirinya mereaksikan gas alam, air dan udara untuk bisa menghasilkan bermacam-macam produk yang nilai tambahnya jauh lebih tinggi dari bahan baku (gas alam). Bahkan dari bahan baku tersebut turunan produknya bisa bermacam-macam. “Itulah nilai tambah dari gas alam ( CH4 ) yang bisa menghasilkan ber macam utk kebutuhan manusia,” kata Rauf.
Untuk bisa meningkatkan kemakmuran (GDP /GDP perkapita) adalah dengan meningkatkan nilai tambah SDA (Sumber Daya Alam), yang dipadukan dengan penerapan teknologi pada industri, satu diantaranya gas alam (CH4) tadi. Dengan bahan baku gas alam air dan udara bisa menghadirkan produk (barang) yang dibutuhkan masyarakat dengan harga tinggi.Saya bangun beberapa industri untuk substitusi import.”Itu saja yang jadi menjadi topik penting karena kelihatan jelas nilai tambahnya dan teknologi pun bisa digunakan oleh manpower terbaik bangsa.
“Sekarang ini yang penting bicara ke depan bagaimana meningkatkan kemakmuran dengan menaikan Gross Domestic Product (GDP) perkapita sebab kalau bicara korupsi saat ini juga korupsi besar padahal ada KPK dan kita bersyukur ada KPK,” tandasnya.
Jangan lupa tahun 1995 GDP perkapita Indonesia sekitar $1,000 jauh di atas China yang masih di bawah $700. Nah tahun 2017 GDP perkapita China jauh menyusul Indonesia karena China sudah lebih maju karena industri.
China saat ini dengan cadangan devisa $3,8 triliun bukan karena bangun infrastruktur tapi karena bangun industri dimana setiap tahun China membangun industri berbasis SDA migas dan batu bara saja lebih dari 250 industri, bisa dibayangkan penyerapan tenaga kerja dan penerimaan negara dari nilai tambah industri. Bagaimana industri Indonesia?
(tn/san)
BACA JUGA