Ibu Kota Baru, Mimpi Lama Akankah Terwujud?
Senin, 06 Mei 2019 | 07:19 WIB
Ilustrasi
Sepekan belakangan menjadi hari-hari super sibuk bagi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Kepala Bappenas) Bambang Brodjonegoro. Setiap ayunan langkah kakinya selalu menjadi incaran wartawan terkait keputusan Presiden Joko Widodo memindahkan ibu kota negara dari Jakarta keluar Pulau Jawa.
Dalam hitung-hitungan Bambang, bila pun terealisasi perpindahan ibu kota negara akan terlaksana tahun 2030, dengan catatan implementasi dikerjakan mulai tahun 2020.
"Targetnya 5-10 tahun, dan kita ingin agar beban Jakarta bisa dikurangi dengan memindahkan pusat pemerintahan di ibu kota baru," kata Bambang di Kantor Bappenas, Jakarta, Selasa (30/4).
Bahkan Bambang menegaskan ada beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mewujudkan perpindahan ibu kota negara. Saat ini baru proses pemindahan ibu kota pun baru sampai tahap keputusan bangun di luar Pulau Jawa. Selanjutnya dibutuhkan proses keputusan politik menentukan kapan mulai direncanakan hingga sampai implementas.
"Paling 2020 (mulai), kita siapkan dua opsi. Karena ini harus mulai merencanakan kotanya, desain, lalu implementasi," ujar dia.
Jika diselesaikan dalam waktu lima tahun, lanjutnya konsekuensi biaya pun menjadi lebih besar. Karena, harus mengejar percepatan pembangunan kota baru itu sendiri.
Adapun, estimasi biaya yang dibutuhkan ada dua. Pertama, sebesar Rp 466 triliun dan kedua sebesar Rp 323 triliun.
Estimasi biaya itu berdasarkan jumlah ASN ditambah anggota legislatif, yudikatif, Kepolisian, TNI, dan anggota keluarganya.
Menurut Bambang, nantinya estimasi biaya pemindahan ibu kota negara akan dibagi ke dalam empat skema pembiyaan. Ada APBN khusus infrastruktur dasar, investasi BUMN, kerja sama pemerintah badan usaha (KPBU), dan swasta murni khususnya sektor properti.
Hingga saat ini, pemerintah belum memutuskan kota mana yang akan menjadi pengganti DKI Jakarta sebagai ibu kota Indonesia. Selama ini, ada empat kota yang disebut-sebut pantas menjadi lokasi ibu kota negara yang baru, yakni Palangka Raya, Balikpapan, Samarinda, dan Mamuju.
Berdasarkan peta kebencanaan, wilayah yang risiko bencananya rendah terdapat di seluruh Sumatera bagian timur, seluruh Pulau Kalimantan, dan seluruh Sulawesi bagian selatan. Pasalnya, salah satu kriteria menjadi ibu kota adalah risiko bencananya sangat rendah.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengunggah postingan di media sosialnya mengenai wacana pemindahan ibu kota Indonesia. Lewat akun Instagramnya @jokowi, Jokowi bertanya kepada netizen untuk memilih daerah yang cocok sebagai ibu kota baru Indonesia.
Dikutip dari akun Instagram Jokowi, Selasa (30/4/2019), dia bilang bahwa DKI Jakarta sebagai ibu kota memikul dua beban sekaligus.
"Menurut Anda, di mana sebaiknya ibu kota negara Indonesia ditempatkan dan apa pertimbangannya?" tanya Jokowi.
Jokowi menyebutkan, DKI Jakarta saat ini memikul dua beban sekaligus, yakni sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik, juga pusat bisnis. Dia mempertanyakan kemampuan kota ini di masa depan untuk memikul beban tersebut.
Menurut mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut, banyak negara yang telah memikirkan dan mengantisipasi arah perkembangan negaranya masing-masing dengan memindahkan ibu kota. Seperti Malaysia, Korea Selatan, Brasil, Kazakhstan.
Jokowi juga menceritakan bahwa wacana pemindahan ibu kota sudah ada sejak Presiden Soekarno menjadi Kepala Negara. Bahkan, setiap kepemimpinan yang baru selalu dibahas namun tidak pernah diputuskan dan direncanakan dengan matang.
"Pemindahan ibu kota adalah sebuah proses yang tidak singkat dan berbiaya besar," tulis Jokowi.
Mantan Wali Kota Solo ini pun menjadi yang pertama memutuskan mengenai ibu kota Indonesia yang harus dipindahkan ke luar Pulau Jawa. Meski demikian, mengenai lokasi pastinya masih belum diputuskan.
Pada kesempatan berbeda, Jokowi pun membeberkan pertimbangannya cenderung ingin pindah ke luar Jawa adalah karena pen duduk di Pulau Jawa yang sangat padat. Dia mengungkapkan, jumlah penduduk di Pulau Jawa saat ini sudah mencapai 57% dari total jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu, di Sumatera sudah mencapai 21%, Kalimantan 6%, Sulawesi 7%, Papua dan Maluku 3%.
“Pertanyaannya, apakah di Jawa mau ditambah? Sudah 57%, ada yang 6% dan 7% dan 3%,” jelasnya.
BACA JUGA