Strategi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung yang Berdaya Saing dan Mensejahterakan
Kamis, 31 Maret 2022 | 19:46 WIB
Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB tersebut mengatakan bahwa Sektor Kelautan dan Perikanan (KP) dianggap berperan (berjasa) signifikan bagi kemajuan dan kesejahteraan suatu wilayah (Kabupaten/Kota, Provinsi, atau Negara), bila ia mampu memproduksi komoditas, produk olahan, dan jasa KP untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor serta menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang: (1) tinggi (rata-rata > 7% per tahun), (2) berkualitas (banyak menyerap tenaga kerja), (3) inklusif (mampu mensejahterakan seluruh pelaku usaha dan stakeholders secara berkeadilan), dan (4) ramah lingkungan serta berkelanjutan (sustainable).
Sebagian besar usaha penangkapan ikan bersifat tradisional: (1) tidak memenuhi economy of scale, (2) tidak menggunakan teknologi mutahkir, (3) tidak menerapkan Integrated Supply Chain Management System (manajemen terpadu hulu – hilir), dan (4) tidak mengikuti prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development),” katanya.
“Bahkan, kebanyakan nelayan belum sejahtera; dan kontribusi Subsektor Perikanan Tangkap bagi perekonomian Prov. Lampung (PDRB, PAD, ekspor, dan lapangan kerja) masih rendah,” tegasnya.
Selain itu, terang mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut overfishing beberapa jenis stok ikan di beberapa wilayah perairan (Pantai Timur Lampung), dan underfishing di beberapa wilayah lain (Pantai Barat Lampung, dan S. Sunda) IUU (Illegal, Unregulated, and Unreported) fishing. Penggunaan teknologi penangkapan yang merusak lingkungan (destructive fishing): bahan peledak, racun.
“Pencemaran; alih fungsi ekosistem alam (mangrove, terumbu karang, estuari, dan lainnya) menjadi kawasan industri, pemukiman, infrastruktur, dan lainnya; perusakan fisik ekosistem alam; biodiversity loss; dan jenis kerusakan lingkungan lainnya > Telah mengancam produktivitas, kualitas, daya dukung, dan kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) ekosistem perairan (laut, pesisir, dan PUD) dalam menopang usaha perikanan tangkap yang mensejahterakan dan berkelanjutan,” terangnya.
Di Sub Sektor Perikanan Budidaya, Prof Rokhmin menyinggung soal banyaknya usaha budidaya ikan dikerjakan secara tradisional, tidak menerapkan: (1) economy of scale, (2) BAP, (3) Integrated Supply Management System, dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Penggunaan benih (benur) yang tidak unggul (SPF, SPR, dan fast growing), karena katersediaannya terbatas atau harganya mahal.
“Inilah yang kemudian mendorong produktivitas rendah atau gagal panen. Harga pakan terus naik, sementara harga jual ikan hasil budidaya naiknya lambat atau stagnan. Padahal, sekitar 60% total biaya produksi budidaya untuk pakan. Ledakan wabah penyakit yang acap kali mengakibatkan rendahnya produktivitas (hasil panen) atau gagal panen," ujar Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.
Kebanyakan pembudidaya ikan, sambungnya, belum menerapkan Best Aquaculture Practices: (1) penggunaan benih unggul, (2) pakan berkualitas dan manajemen pemberian pakan, (3) pengendalian hama & penyakit, (4) manajemen kualitas air, (5) pond engineering (lay out, desain, dan material media), dan (6) biosecurity.
Pada umumnya posisi pembudidaya ikan dalam Sistem Rantai Pasok dan Nilai sangat tidak diuntungkan (marginal); Laju (intensitas) pembangunan perikanan budidaya di Pantai Timur, Pantai Barat, dan Wilayah Tengah (landlock areas) Provinsi Lampung berbeda; Posisi Subsektor Perikanan Budidaya dalam RTRW rendah.
“Alih fungsi lahan Perikanan Budidaya menjadi penggunaan lahan (land use) lainnya. Lalu Unit Pengolahan Ikan) berskala Kecil dan Mikro, bersifat tradisional sehingga daya saing produk olahan ikan rendah. Penerapan sistem rantai dingin dalam menjaga mutu hasil perikanan belum optimal. Kontinuitas pasok bahan baku berkualitas dan aman (food safety) bagi industri pengolahan hasil perikanan rentan; Relatif rendahnya daya saing komoditas dan produk olahan hasil perikanan, karena: biaya processing yang lebih mahal, rendahnya inovasi produk olahan, rendahnya aplikasi Best Manufakturing Practices, rendahnya kualitas dan keamanan produk (penolakan dari negara importir), tingginya biaya tetap dan biaya sosial,” tegasnya.
“Tumpulnya kapasitas pemasaran kita, baik di pasar global (ekspor) maupun pasar domestik. Kemudian, terbatasnya Infrastruktur Perikanan (Pelabuhan Perikanan, Saluran Irigasi dan Drainasi, Pasar Ikan Modern, dll) dan infrastruktur dasar (jalan, listrik air, bersih, telkom, dan internet). Pencemaran; degradasi fisik ekosistem alam (sungai, danau, mangrove, estuari, terumbu karang); biodiversity loss; dan jenis kerusakan lingkungan lainnya,” tambahnya.
Permasalahan lainnya, ujar Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu adalah dampak Perubahan Iklim Global, tsunami, gempa bumi, dan bencana alam lainnya. Kemudian Suku bunga Bank yang tinggi dan persyaratan pinjam yang memberatkan sehingga akses nelayan, pembudidaya ikan, procesors, dan traders sangat terkendala.
Prof Rokhmin juga menilai alokasi APBD Provinsi maupun Kabupaten/Kota se Lampung untuk sektor Kelautan dan Perikanan relatif rendah. Belum lagi persoalan ego sektoral, ego daerah, dan konflik kewenangan.
Prof. Rokhmin Dahuri pada kesempatan tersebut mendorong optimalisasi program "Nelayan Berjaya" Lampung, 2019-2024 yang meliputi antara lain: Pertama, tumbuhnya usaha budidaya perikanan dan memberikan pendampingan pemasaran serta penjaminan pasar produk perikanan.
Kedua, Mengintegrasikan nelayan dan keluarga nelayan dalam pengembangan industri pengolahan perikanan. Ketiga, Memberikan asuransi nelayan dan jaminan sosial bagi nelayan lansia.
Keempat, Memberikan beasiswa bagi anak-anak nelayan berprestasi dalam berbagai tingkatan pendidikan termasuk perguruan tinggi. Kelima, Mendirikan Stasiun-stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan sentra pertambakan.
Untuk mewujudkan optimalisasi pembangunan sektor kelautan dan perikanan, Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan tersebut meminta Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung melakukan berbagai langkah kongkret diantaranya adalah Penyusunan Rencana Pembangunan, Investasi, dan Bisnis Sektor Kelautan dan Perikanan.
Kemudian Penyusunan Proposal Pembangunan KP sesuai kebutuhan di setiap Kabupaten/Kota. “Berdasarkan pada butir-1 dan butir-2 à menarik dana APBN (KKP, Kementerian PUPR, Kemenhub, Kemenperin, dan lain-lain) dan APBD Propinsi; dan menarik investor yang credible,” katanya.
“Yang tidak kalah penting juga adalah menghadirkan Iklim Investasi dan Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business) yang kondusif dan atraktif: perizinan, keadilan dan kepastian hukum, konsistensi kebijakan, keamanan berusaha, NAKER, RTRW, infrastruktur, dan lain-lain,” tandasnya.
“Jika ekonomi KP dikembangkan dan dikelola dengan menggunakan inovasi IPTEKS dan manajemen mutakhir (seperti diuraikan diatas), maka sektor-sektor KP akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa (khususnya pengangguran, kemiskinan, ketimpangan sosek, dan disparitas pembangunan antar wilayah), dan secara simultan dapat mengkselerasi terwujudnya Prov. Lampung Emas pada 2035 dan Indonesia Emas paling lambat pada 2045,” pungkasnya.
BACA JUGA