PT Geo Dipa Energi (Persero) GOVERNMENT DRILLING OPTIMALISASI PENINGKATAN ENERGI TERBARUKAN
Senin, 21 Maret 2022 | 06:00 WIB
Riki Firmandha Ibrahim Direktur Utama PT Geo Dipa Energi/Geo Dipa (Persero)
Sebagai satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor panas bumi, tentu GeoDipa sangat mendukung agenda pemerintah dalam mendorong optimalisasi pemanfaatan energi baru terbarukan Geothermal/Panas Bumi. Komitmen GeoDipa tercermin dari bagaimana GeoDipa menjalankan berbagai penugasan yang diberikan oleh pemerintah.
Riki Firmandha Ibrahim, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi/Geo Dipa (Persero), mengatakan, saat ini GeoDipa sudah mengoperasikan PLTP Dieng dan Patuha dengan kapasitas masing-masing sebesar 55 MW yang merupakan salah satu penugasan pemerintah.
Selain itu, Geo Dipa juga ditugaskan menjadi pelaksana pengeboran melalui mekanisme government drilling.
"Program ini juga menjadi bukti nyata bahwa GeoDipa merupakan kepanjangan pemerintah dalam upaya optimalisasi peningkatan energi terbarukan di tanah air," ujar Riki Firmandha Ibrahim menjawab TrustNews.
"Hal ini dikarenakan mekanisme government drilling akan menurunkan resiko eksplorasi dan setelah itu mengundang banyak investasi di sektor energi baru terbarukan Geothermal (panas bumi). Dengan demikian, Geo Dipa juga akan menjadi katalisator untuk mengundang berbagai investasi di sektor energi baru terbarukan untuk dapat bersama-sama mengembangkan potensi sumber energi listrik yang ramah lingkungan sebagai pengganti fosil," paparnya.
Menurutnya, Pemerintah RI (dalam hal ini Komite Bersama) sudah sangat tepat meluncurkan program GEUDP/PISP dan GREM untuk Energi Terbarukan Geothermal/Panas Bumi, dan PT SMI bersama GeoDipa.
"Tidak ada kata tidak. Harus berhasil melaksanakannya. Hanya dengan program GEUDP/PISP dan GREM, Indonesia dapat mewujudkan Indonesia Geothermal Center of Excellence. Karena pemerintah masih memiliki fiscal TOOL lain yang dapat mendorong pengembangan di tahapan eksploitasi dan pembangunan PLTP di Indonesia," paparnya.
"Saya yakin GAP antara kemampuan GDP suatu Negara dengan harga keekonomian ET di dunia akan dapat terselesaikan dengan cara win-win solution. Apabila kita dapat meyakinkan dan membuktikan pembangunan PLTP itu memberikan manfaat yang besar kepada suatu negara akibat dari terjadinya pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar PLTP," tambahnya.
Baginya, upaya pemerintah dalam mengoptimalisasikan pembauran energi baru terbarukan juga ditujukan sebagai komitmen menurunkan emisi karbon yang saat ini sudah menjadi isu global.
"Melalui pemanfaatan energi baru terbarukan, pencanangan net zero emission di tahun 2060 sesuai roadmap yang telah ditetapkan pemerintah tentu akan dapat diwujudkan," ungkapnya.
"Oleh karena itu dinamika masyarakat dunia baik persaingan antara ET dan Fosil, penguasaan perdagangan dunia, dan hal lainnya yaitu pertentangan adanya Perubahan Iklim atas naiknya suhu bumi itu, harus kita bersama-sama sadari pula sebagai tantangan pembangunan PLTP di Indonesia yang ada solusinya," tambahnya.
"Tanpa kita lakukan dengan serius, fokus, baik dan benar hal Environment, Social dan Governance untuk pembangunan PLTP, maka cita-cita untuk meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar PLTP itu tidak akan terwujud," tegasnya.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan, lanjutnya, telah mempersiapkan sejumlah dukungan baik dari sisi regulasi maupun insentif fiskal bagi para pengembang di sektor energi baru terbarukan, khususnya panas bumi. Langkah ini sebenarnya dilakukan tidak lain untuk mendukung upaya peningkatan bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada tahun 2024.
Selain mendukung dalam aspek regulasi, menurutnya, pemerintah juga memberikan insentif lainya seperti fasilitas pengurangan pajak penghasilan berupa tax allowance atau tax holiday, fasilitas bea masuk dan pajak dalam rangka impor, bea masuk PPn dan PPnBM, serta PPh atas impor, hingga pembebasan Pajak Bumi Bangunan (PBB) pada tahap eksplorasi.
"Upaya Pemerintah RI dalam mendorong pengembangan energi terbarukan yakni geothermal (panas bumi) sampai hari ini harus kita bersama upayakan/laksanakan keberhasilannya, agar Pemerintah RI tidak turunkan prioritasnya," ujarnya.
"Tidak ada kata bahwa program pemerintah sulit diwujudkan apabila kita memang serius, fokus dan yakin kalau Energi Terbarukan Geothermal itu adalah yang Energi Terbarukan terbaik untuk Indonesia," ujarnya.
"Energi Geothermal tidak dapat di ekspor kecuali setelah di konversi menjadi listrik. Saya yakin bahwa negara di dunia saat ini tidak ada lagi yang membiayai Eksplorasi atau Geothermal Exploration Cost Recovery seperti di era MIGAS yg harga produknya itu harga pasar dunia. Karena harga Listrik Geothermal/Panas Bumi ini bukan perdagangan di dunia seperti MIGAS," tegasnya.
"Permasalahan utama dari pengembangan panas bumi di Indonesia ini memang terletak pada harga beli listrik oleh PLN yang masih dibawah nilai keekonomian pengembang swasta. Sementara nilai investasi dalam pengembangan atau eksplorasi panas bumi membutuhkan biaya dimuka yang cukup mahal," ujarnya.
Riki pun membeberkan data, investasi terbesar dari panas bumi adalah pada saat tahap awal eksplorasi. Hal ini memerlukan dukungan yang sangat besar, baik itu dari pemerintah maupun dari industri pendukung lainnya.
Saat ini teknologi dan pabrikan dari industri yang mendukung proyek panas bumi masih belum ada di Indonesia. Namun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong hadirnya investasi di Indonesia di sektor panas bumi, mulai dari deregulasi hingga pemberian berbagai insentif bagi pengembang panas bumi di Indonesia.
"Melihat kondisi tersebut, perlu adanya transfer knowledge dan transfer technology yang dapat membantu upaya pemerintah dalam percepatan pemanfaatan panas bumi dengan menghadirkan pabrikan atau industri pendukung panas bumi di Indonesia," pungkasnya. (TN)
BACA JUGA