Anggia Erma Rini SOROTI NASIB PETANI DAN NELAYAN
Kamis, 17 Februari 2022 | 22:02 WIB
Di saat hampir semua sektor usaha 'tiarap' akibat gelombang pandemi Covid-19, sektor pertanian (tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan) jadi penyelamat bagi perekonomian nasional. Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat sepanjang tahun 2020 sektor pertanian mampu tumbuh 1,75 persen.
Bahkan di sepanjang tahun 2021, sektor pertanian tercatat sebagai salah satu sektor yang secara konsisten berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional selama masa pandemi.
Tak hanya berkontribusi terhadap PDB, industri pertanian juga berperan terhadap pendapatan negara melalui ekspor. Ekspor produk pertanian sejak Januari sampai dengan Oktober 2021 totalnya mencapai Rp518,85 triliun, atau naik 47,37 persen dari periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Hanya saja, dalam kacamata Anggia Erma Rini, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, kontribusi besar yang diberikan sektor pertanian di sepanjang pandemi tidak berbanding lurus dengan tingkat pendapatan dan kesejahteraan para petani
"Para petani tetap saja susah dan hidup dalam kemiskinan. Sementara hasil kerja mereka itu menjadi penyelamat ekonomi Indonesia keluar dari jurang resesi," ujar Anggia di ruang kerjanya.
Bagi Anggia, kondisi itu menggambarkan adanya kesenjangan (gap) antara kebijakan yang dibuat dengan hasil yang didapat para petani.
"Gap Ini yang sampai saat ini belum bisa pemerintah benahi," tegasnya. Dia pun menyebut, mahalnya harga pakan ternak, tingginya impor komoditas pangan dan beda persepsi terkait stok jagung antara Kementan dan Kemendag.
"Belum ada sinergitas kebijakan di sektor pangan. Malah yang tertampak masing-masing pembuat kebijakan jalan sendiri-sendiri," ujar Anggia yang juga Ketua Fatayat NU ini.
"Tantangan pertanian sekaligus nasib petani kita benar-benar dipertaruhkan. Revitalisasi kebijakan sektor pertanian mutlak harus dilakukan agar kondisi petani kita tidak makin memburuk," tegasnya.
Politisi Fraksi PKB inipun membeberkan data tidak saja menciutnya luas lahan yang dikuasai petani. Tapi juga perbandingan luas lahan yang dikuasai petani dan kelompok bisnis.
Dalam hal penguasaan luas lahan, menurutnya, mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 60-an rata-rata luas lahan 1,1 hektar dikuasai tiap petani. Di tahun 2000-an, luas lahan yang dikuasai petani menurun jadi 0,8 hektare. Tahun 2018, luas rata-rata penguasaan lahan petani sekitar 0,5 hektare.
Bahkan, dia mencatat, sebanyak 60 persen dari petani Indonesia hanya menguasai lahan sekitar 1.000 meter persegi atau 0,1 hektar.
"Ini artinya 1 persen penduduk menguasai 60 persen tanah di Indonesia. Sementara 56 persen petani di Indonesia hanya memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar (baca petani)," ujarnya.
Begitu juga dengan proporsi umur, menurutnya, dari waktu ke waktu semakin sedikit kelompok usia muda yang menjadi petani. Tercatat petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya berjum- lah 2,7 juta orang. Atau, sekitar 6 persen dari total petani kita 33,4 juta orang, sisa- nya di atas 55 tahun.
"Kondisi dan fakta di lapangan bagi generasi muda bahwa profesi petani tidak memberikan keuntungan secara materi. Bahkan secara sektor usaha, pendapatan di sektor pertanian, kehutanan dan kelautan yang terendah dibandingkan sektor usaha lainnya" ujarnya.
Dia pun mengambil contoh kasus jatuhnya harga jagung, cabai bahkan telur yang tidak saja harganya yang jatuh, tapi juga harga pakan ya yang melambung. Ini kerap terjadi menandakan pemerintah tidak bisa menstabilkan harga.
Menurut Anggia, tugas menstabilkan harga bukan hanya diemban oleh kementerian pertanian tapi juga Kementerian Perdagangan. Sehingga ego sektoral antara keduanya harus dihilangkan. Dengan demikian kestabilan harga bisa berdampak bagi petani, pedagang dan juga konsumen.
"Tugas pemerintah itu bagaimana terjadi keseimbangan harga baik di tingkat petani maupun di konsumen itu stabil. Tidak ekstrim naik dan turunnya, terlebih di tingkat petani," ujarnya.
"Pemerintah wajib punya kebijakan jangka pendek seperti apa dan jangka panjangnya seperti apa. Harus ada intervensi. Termasuk memberi penugasan ke Bulog untuk menyalurkan dan menjual harga bahan pokok yang terjangkau," paparnya.
Anggia pun menyoroti upaya pemerintah pusat membangun sejumlah dermaga dan pelabuhan yang tidak pada tempatnya.
"Saya datang ke Sulawesi Selatan ada pelabuhan yang menghabiskan biaya ratusan miliar namun mubazir karena tidak digunakan sama sekali. Pertanyaannya, mengapa membangun dermaga jika masyarakat tidak mau datang ke situ. Akhirnya dermaga itu kosong dari aktivitas," ujarnya.
"Sementara di Tulungagung malah tidak di bangun dermaga untuk nelayan. Padahal potensi ikannya besar sekali hanya saja para nelayan di Pantai Sine kesulitan mendaratkan kapal-kapal mereka karena tidak ada dermaga," ujarnya.
"Nelayan harus muter-muter dulu, kalau tidak ke dermaga popoh atau berganti ke sampan kecil dulu. Jadi bisa dilihat pembangunan ini dasarnya apa. Ada yang lebih mendesak kebutuhannya untuk mendongkrak kualitas mutu ikan serta pertumbuhan ekonomi nelayan kayak di Pantai Sine atau yang bagaimana," pungkasnya. (TN)
BACA JUGA