KESEIMBANGAN KONVENSIONAL DAN DIGITAL BPR BKK KOTA SEMARANG
Kamis, 20 Januari 2022 | 23:51 WIB
Agustinus Ari Susanto Direktur Utama PT BPR BKK Kota Semarang
Kebijakan pembatasan sosial (PSBB dan PPKM) sebagai upaya memutus penularan Covid-19, telah mendorong digitalisasi layanan yang beberapa tahun sebelumnya sudah menggema. Tak terkecuali sektor perbankan.
lompatan digitalisasi itu menjadi jawaban (sekaligus memaksa) masyarakat untuk menggunakan layanan daring untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari.
Ramainya Digitalisasi di hampir semua bidang itu, mendapat respon yang sedikit berbeda oleh Agustinus Ari Susanto. Direktur Utama PT BPR BKK Kota Semarang (Perseroda), ini melihat digitalisasi sebagai sebuah keseimbangan dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya.
"Kita tidak ingin melupakan sejarah. Kita ini akarnya Konvensional tradisional," ujar Agustinus Ari Susanto menjawab TrustNews.
“Basic-nya (konvensional tradisional) tidak akan kita tinggalkan. Karena BPR sejarahnya tidak jauh-jauh dari masyarakat akar rumput seperti petani, buruh, pedagang kecil dan pegawai agar bisa lepas dari jeratan rentenir. Mereka ini kemudian masuk dalam golongan usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM)," paparnya.
Namun bukan berarti BPR BKK Kota Semarang menolak digitalisasi. Diakuinya, BPR hasil patungan Pemprov Jateng dan Pemkot Semarang ini, juga telah melakukan digitalisasi sebagai sebuah keseimbangan dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya.
"BPR BKK Kota Semarang menerapkan keseimbangan antara digitalisasi dan konvensional," tegasnya.
Alasannya sederhana, "Karena nasabah kita yang kelas bawah pelayanannya harus pelayanan tatap muka. Artinya BPR BKK Kota Semarang ini menjawab segala kebutuhan nasabah."
Selain masalah keseimbangan, prinsip kehati-hatian menjadi pilihan utama bagi BPR BKK Kota Semarang dalam menerapkan dan memproklamirkan diri sebagai 'BPR BKK Digital'. Kehati-hatian ini terletak pada potensi adanya keamanan siber (cyber security) bagi bank.
Apalagi diingatkannya, sebagian besar nasabah BPR BKK Kota Semarang merupakan UMKM. Sehingga membutuhkan sosialisasi agar memahami apa itu produk-produk keuangan, bagaimana cara mengaksesnya dan apa saja resiko yang akan muncul.
"Nasabah kita 95 persen pure pelaku UMKM dan terbiasa pelayanannya tatap muka. Jadinya kita harus pelan-pelan mengedukasinya terkait digitalisasi dan keuangan dalam aplikasinya melalui telepon seluler," ujarnya.
Sebagai Informasi, BPR BKK Kota Semarang merupakan penggabungan dari 9 PD BPR BKK yang ada di kota Semarang, yakni Semarang Tengah, Semarang Barat, Semarang Timur, Banyumanik, Gunungpati, Gayamsari, Genuk, Mijen dan Tugu.
Penggabungan ini menghasilkan PD BPR BKK Semarang Tengah, pada 13 Juli 2005. Dengan komposisi kepemilikan saham Pemerintah Provinsi Jawa Tengah 51% dan Pemerintah Kota Semarang 49%. Dalam perjalanannya, tepatnya 26 November 2012, PD. BPR BKK Semarang Tengah resmi berubah nama menjadi PD. BPR BKK Kota Semarang.
Di lain sisi, penerapan pola konvensional, menurutnya, sebagai cara BPR BKK Kota Semarang membentuk ikatan emosional dengan nasabahnya. Dan itu terjawab saat pandemi, kepercayaan masyarakat (nasabah) kepada BPR BKK Kota Semarang tetap terjaga.
"Kalau mau dibilang pusing, ya pusing. Pusingnya rame-rame," ujarnya berseloroh. Karena hampir semua sektor usaha 'tiarap' saat pandemi mulai dari korporasi besar hingga UMKM.
"Pada saat yang bersamaan agar terhindar dari kredit macet, kita lakukan relaksasi berupa penundaan pembayaran pokok dan hanya membayar bunganya saja. Relaksasi dan restrukturisasi kredit diberikan kepada nasabah yang benar-benar terdampak," ujarnya.
"Caranya ada yang mengajukan atau kita jemput bola dengan melakukan penyisiran para debitur yang paling terdampak untuk dilakukan restrukturisasi kreditnya. “Tujuan kami agar debitur kami selamat” ungkapnya.
Kami berharap pandemi bisa berakhir di tahun ini (2022) sehingga ekonomi bisa segera pulih dan UMKM bisa kembali menggeliat" pungkasnya. (TN)
BACA JUGA