NASIB BPR Modal Meningkat, Ruang Gerak Dibatasi

TN, trustnews.id
Kamis, 14 Oktober 2021 | 08:01 WIB


NASIB BPR Modal Meningkat, Ruang Gerak Dibatasi
Istimewa
Jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terus menciut, pasca keluarnya peraturan batas modal minimum oleh Otoritas Jasa Keuangan. Hanya mengandalkan perputaran arus kas.

Bagai kerakap hidup di atas batu. Peribahasa ini mungkin cocok digunakan untuk menggambarkan kondisi mayoritas Bank Perkreditan Rakyat (BPR) saat ini.

Keterbatasan modal yang berujung pada minimnya ruang gerak membuat banyak BPR hanya punya dua pilihan. Merger atau ditutup otoritas. Ini sejalan dengan peraturan OJK Nomor 5 Tahun 2015 terkait pembatasan modal inti minimum yang harus dipenuhi BPR.

Adapun modal inti minimum BPR ditetapkan sebesar Rp 6 miliar wajib dipenuhi paling lambat 31 Desember 2024.

"Saat ini sudah mulai banyak BPR khususnya di Jawa, Sultra, Kalsel dan NTB," ujar Ketua Umum Perhimpunan Bank Milik Pemerintah Daerah (PERBAMIDA) Se-Indonesia, Muhammad Sigit menjawab TrustNews.

"Ini terkait dengan pemenuhan kewajiban modal sesuai peraturan OJK terkait batas modal inti BPR," tambahnya.

Berdasarkan data OJK, jumlah BPR dan BPR Syariah (BPRS) di Jatim pada Desember 2017 tercatat sebanyak 339,kemudian pada Desember 2019 angka tersebut menyusut menjadi 321. Namun, tahun 2019 juga ada satu bank baru yang beroperasi, yakni BPRS Kabupaten Ngawi.

Sementara di Bali, OJK mencabut izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sewu Bali. Hal itu berdasarkan Keputusan Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor KEP-33/D.03/2021 pada 2 Maret 2021.

Sementara untuk mendirikan BPR baru, lanjutnya, juga tidak mudah dan murah. OJK mengatur pendirian BPR baru berdasarkan zonasi dan Jawa-Bali masuk dalam zonasi 1 dengan modal setor pendirian minimal Rp 100 miliar.

"Mengapa nilainya besar, tujuannya agar ada pemerataan BPR dan tidak hanya menumpuk di Jawa dan Bali. Sementara wilayah lain seperti di Sulawesi, Kalimantan dan Nusa Tenggara masih minim," ujar Sigit yang juga tercatat sebagai Direktur Utama Bank Sleman.

Sebagaimana diketahui, syarat pendirian BPR baru tertuang dalam POJK Nomor 62/POJK.03/2020 tentang Bank Perkreditan Rakyat. Adapun modal disetor pendirian BPR ditetapkan paling sedikit Rp 100 miliar untuk BPR yang didirikan pada zona 1, Rp50 miliar pada zona 2, dan Rp 25 miliar pada zona 3. Hal itu dilakukan agar pendirian BPR bisa merata di seluruh wilayah.

Sebagai Dewas Pengawas Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (PERBARINDO), Sigit melihat, tantangan yang dihadapi BPR yakni fungsinya yang lebih terbatas daripada Bank Umum. Sementara, masyarakat melihat fungsi BPR itu sama dengan Bank Umum.

"Regulator Bank Indonesia (BI) dan OJK masih membedakan dimana BPR tidak boleh melakukan transaksi seperti menerima simpanan giro, mengikuti kliring, melakukan kegiatan valuta asing (valas), dan melakukan kegiatan perasuransian," ujarnya.

"BPR hanya mengandalkan arus kas atau keuntungan dari layanan penghimpunan dana dan penyaluran dana saja, tidak ada alternatif lain dalam mendapatkan penerimaan," tambahnya.

Padahal keberadaan BPR, lanjutnya, punya sumbangsih besar dalam meminimalisir praktek lintah darat atau rentenir yang merugikan masyarakat, terutama di pasar-pasar tradisional dan para pelaku UMKM.

Dia lalu menyebut beberapa BPR yang konsisten memerangi praktek rentenir, termasuk bank yang dipimpinnya Bank Sleman. Caranya, sejak subuh pun, petugas Bank Sleman sudah ada di pasar-pasar. Tujuannya untuk bergerak cepat menawarkan pinjaman ke pedagang pasar.

"Kami selalu mengupayakan agar pedagang pasar yang ada dalam data base kami, meminjam dana ke kami dan bukan ke rentenir. Dengan cara inilah kami berupaya membantu pemerintah kabupaten mengurangi rentenir sekaligus menaikkan taraf hidup masyarakat kecil,” papar Sigit.

Bank Sleman, menurutnya, menyediakan pinjaman dengan nilai bisa sampai Rp20 juta. Tanpa agunan, dengan syarat bahwa peminjamnya bisa di-pick up tiap hari.

"Kami mensyaratkan pedagang pasar setiap hari didatangi oleh petugas. Imbasnya para pedagang mendapatkan margin lebih lebar. Kalau mereka pinjam ke rentenir sebulan bisa 30 persen, kalau ke kami atau BPR hanya 0,5 persen sampai 1 persen dengan plafon dari Rp2 juta sampai Rp20 juta," paparnya.

Selain itu, BPR juga mulai meningkatkan sistem manajemen untuk layanan perbankan dengan meningkatkan sistem aplikasi core banking dengan fitur dan dukungan teknologi yang lebih mumpuni. Termasuk dengan mengadopsi teknologi informasi terkini sebagai bagian dari strategi menuju layanan digital banking bagi para nasabah.

"Mengatasinya BPR menjalin kerja sama dengan Bank Umum, sehingga nasabah BPR bisa transfer kemana saja," pungkasnya. (TN)