Membangun Kemandirian Industri Farmasi Nasional

TN, trustnews.id
Rabu, 27 Februari 2019 | 07:00 WIB


Dalam upaya mempercepat kemandirian farmasi dan alat kesehatan, delapan industri farmasi bergabung. Investasi pun murni oleh industri farmasi lokal.

“Indonesia menjadi pasar farmasi 15 terbesar dunia tahun 2025 Dengan Nilai Rp700 triliun”. Tekad yang tidak main-main, apalagi jarak tersisa 6 tahun saja (bila dihitung dari tahun 2019). Untuk mewujudkannya, Presiden Joko Widodo sampai mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan (Alkes) serta mewujudkan Program Nawacita pada Program Indonesia Sehat.

Inpres Nomor 6 Tahun 2016 yang ditandatangani tanggal 8 Juni 2016 tersebut menyebutkan empat poin utama sebagai tujuannya. Pertama, menjamin ketersediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Kedua, meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan di dalam negeri dan ekspor.

Ketiga, mendorong penguasaan teknologi dan inovasi dalam bidang farmasi dan alat kesehatan.

Terakhir, keempat, mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat, obat dan alat kesehatan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor serta memulihkan dan meningkatkan kegiatan industri dan utilisasi kapasitas industri.

Bahkan dalam Inpres itu, Presiden secara khusus memerintahkan kepada Menteri Kesehatan untuk menyusun rencana aksi pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan serta memfasilitasi pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan ke arah biopharmaceutical, vaksin, natural, dan Active Pharmaceutical Ingredients (API) kimia.

Selain itu, gabungan pengusaha farmasi telah melakukan investasi di bidang produksi, riset dan pengembangan produk. Mereka juga melakukan upaya-upaya penelitian dan pengembangan, terkait dengan obat-obat tradisional, obat-obat biologi dan obat-obat biofarmasi.

"Termasuk juga produk-produk yang berkaitan dengan vaksin di dalamnya,” imbuh Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, Dorodjatun Sanusi, kepada Trust News.

Dorodjatun memaparkan bahwa industri farmasi nasional  tercatat mampu memenuhi 90% dari total kebutuhan jenis obat di JKN. Menurutnya, industri farmasi akan berusaha mencapai 100%  sebagai wujud Universal Health Coverage sebagaimana yang diinginkan pemerintah.

Dari jumlah ini 52% diantaranya merupakan obat generik berkualitas. Sedangkan sisanya 10% berasal dari produk impor milik Penanaman Modal Asing (PMA), dikarenakan memang belum dimiliki farmasi nasional.

“10% itu tidak dibuat oleh farmasi dalam negeri karena beberapa alasan, pertama ada hak patennya. Kedua, teknologinya belum dimiliki dan ketiga kalaupun dibuat nilai ekonomisnya rendah karena jumlah yang menggunakannya sedikit. Tergolong obat yang mahal,” ujarnya.

Selain itu, Dorodjatun juga mengatakan bahwa industri farmasi nasional telah melakukan banyak investasi. Hal ini dilakukan untuk mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat, obat dan alat kesehatan, sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor serta memulihkan dan meningkatan kegiatan industri dan utilisasi kapasitas industri.

“Harap dicatat bahwa investasi murni oleh industri farmasi lokal, bukan yang datang dari luar membawa modal mayoritas untuk berinvestasi di Indonesia. Kalaupun ada investasi modalnya minoritas. Saat ini delapan industri farmasi nasional telah melakukan investasi, baik itu merupakan unit bisnisnya sendiri maupun dalam bentuk join venture yang nantinya akan memproduksi 15 jenis produk obat-obatan,” paparnya. 

Selain itu, menurut Dorodjatun, sebelum masyarakat meramaikan Revolusi Industri 4.0. industri farmasi nasional sudah membentuk Komite Digital Health dalam bentuk pelayanan berbasis aplikasi kepada masyarakat, baik pasien atau konsumen yang mencari obat secara cepat.

“Masing-masing industri farmasi juga menggunakan metode-metode yang tergolong kekinian (up to date) untuk software seperti misalnya dari SAP dan ECO. Raksasa-raksanya software itu,” ujarnya.

Namun ditegaskannya, Digital Health tidak menjual obat. Pasalnya, hal tersebut menjadi tugas apoteker sebagaimana profesi apoteker agar bisa berfungsi dengan baik dalam rangka pelayanan kefarmasian.

“Digital Health tidak menjual obat atau berdagang obat. Digital Health berbeda dengan aplikasi sejenis yang marak saat ini. Melalui aplikasi ini, industri farmasi memberikan kemudahan masyarakat di apotik mana obat yang dicarinya tersedia,” pungkasnya.

Sementara itu, Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, mengatakan bukti keseriusan pemerintah mewujudkan kemandirian industri farmasi nasional ialah dengan menyediakan beberapa insentif fiskal, seperti fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan atau tax allowance bagi industri farmasi di Tanah Air yang mengoptimalkan pengembangan inovasi bahan baku lokal.

Kemenperin mencatat, industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional tumbuh sebesar 6,85 persen dan memberikan kontribusi sebesar 0,48 persen pada tahun 2017. Demikian juga dengan nilai investasi yang meningkat sebesar 35,65 persen. Pada tahun 2017, penambahan investasi di sektor ini mencapai Rp5,8 triliun.

“Dengan adanya penambahan investasi, terjadi pula peningkatan jumlah tenaga kerja,” tutur Airlanga. (TN)