APPI: TERDAMPAK COVID-19, STOK BARANG NUMPUK DI GUDANG
Jumat, 13 Agustus 2021 | 05:01 WIB
Ketua Umum Asosiasi Produsen peralatan Listrik Indonesia (APPI), Boey Surjadi.
Tercatat, konsumsi listrik nasional mengalami penurunan hingga 2,37 persen pada Oktober 2020 bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Dan, Bali tercatat sebagai provinsi yang terbesar penurunan konsumsi listriknya hingga 21,21 persen. Sedangkan
Sumatra Barat turun sebesar 0,53 persen, Jawa Barat sebesar 2,97 persen, DKI Jakarta dan Tangerang 11,44 persen serta Banten 9,73 persen.
Penurunan konsumsi listrik juga tercatat saat kebijakan pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat sejak 3 Juli lalu. Beban puncak pemakaian listrik anjlok sebesar 2.000 megawatt (MW) atau 7%, dari kondisi normal. Sebelum PPKM darurat, beban puncak pemakaian listrik di wilayah Jawa-Bali berkisar di angka 26.800-26.900 MW.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Peralatan Listrik Indonesia (APPI), Boey Surjadi, mengatakan, produsen peralatan listrik juga mengalami imbasnya. Apalagi, sebagai produsen tentu memiliki ketergantungan yang tinggi dengan PLN, sehingga apa yang terjadi di PLN tentu memiliki dampak kepada produsen peralatan listrik.
"Turunnya konsumsi listrik tentu membuat PLN mengkaji ulang jumlah kebutuhan listrik masyarakat termasuk pembangunan infrastruktur baru. Imbas- nya tentu terasa pada produsen peralatan listrik yang produknya tidak terserap," ujar Boey kepada TrustNews.
Dia pun menyebut, Stok barang jadi Trafo dan Panel TR dan Stok bahan baku trafo dan Panel TR menumpuk di gudang karena belum terserap oleh PLN. "Kalau kita lihat barang yang masih terserap itu kWh Meter dan MCB," ujarnya.
"Belum lagi masih ada masalah di tahun 2019, yakni pembayaran yang lambat dan masuk tahun 2020 terjadi pandemi menyebabkan produk tidak terserap sehingga stok di gudang tidak terpakai," paparnya.
Upaya mengurangi barang yang tak serap, menurut Boey, bisa dilakukan melalui ekspor. Hanya saja, untuk ekspor masih mengandalkan dua produk yakni trafo dan kWh meter.
"Di luar produk itu persaingannya dengan China cukup berat. Apalagi bahan bakunya sangat susah karena masih impor hingga harga jualnya tidak kompetitif," ungkapnya.
Boey melihat, bagaimana upaya PLN dalam menaikkan konsumsi listrik yang anjlok. Mulai dari mendorong penggunaan kendaraan listrik (motor dan mobil) hingga penggunaan kompor induksi (listrik) di sektor rumah tangga.
"Kita melihat PLN kelebihan pasokan (oversupply) akibat berkurangnya konsumsi listrik di sektor industri dan bisnis. Di lain sisi, pasokan listrik dari pembangkit jalan terus menyebabkan reserve margin (cadangan listrik dibandingkan kapasitas beban puncak pembangkit listrik) pada 2020 melewati angka yang ditargetkan sebesar 25 persen" paparnya.
Pasokan listrik yang berlimpah ini mau dikemanakan. PLN tentu melihat peluang pasar yang masih terbuka dan sedang trend yakni kendaraan listrik dan kompor listrik.
Hanya saja menurutnya, kebijakan tersebut bisa menciptakan ketidakpastian dalam jangka panjang. "Seperti memindahkan masalah ke masalah yang baru pada akhirnya," ungkapnya.
Kompor listrik, misalnya, sebelumnya pemerintah yang gencar mensosialisasikan penggunakan LPG 3 Kg kepada masyarakat. Kemudian, saat terjadi penurunan konsumsi listrik, masyarakat disosialisasikan penggunaan kompor listrik.
"Dalam jangka pendek mungkin bisa mengatasi kelebihan pasokan listrik saat masyarakat beralih dari LPG ke listrik. Namun ketika pandemi berakhir dan industri kembali beroperasi, apakah menjamin ketersediaan listrik, sebab anjloknya konsumsi listrik dikarenkan turunnya konsumsi industri dan bisnis," urainya.
“Di lain sisi, pemerintah mendorong Energi Baru Terbarukan (EBT) khususnya panel surya untuk sektor perumahan. Para developer mulai banyak yang menggunakan panel atap surya untuk mengurangi konsumsi listrik dari PLN, sementara PLN mengeluh kelebihan pasokan listrik," tandasnya. (TN)
BACA JUGA