Len Kembali ke Khittah

TN, trustnews.id
Minggu, 01 Agustus 2021 | 11:07 WIB


Len Kembali ke Khittah
Direktur Utama PT Len Industri (Persero), Bobby Rasyidin
Len Kembali Ke Khittah

Sebagai orang nomor satu di Len Industri, Bobby Rasyidin berbicara panjang lebar tidak saja mengembalikan Len pada jati dirinya sebagai perusahaan teknologi, tapi juga soal membangun kemandirian pertahanan dan skenario perang masa depan.

Pandemi Covid-19 menjadi jalan bagi PT Len Industri (Persero) kembali ke khit­tah sebagai BUMN teknologi, seperti yang tertoreh di visi perusahaan, “Menjadi Perusahaan Teknologi Kelas Dunia yang Terpercaya”.

Keinginan kembali ke jati diri diungkap Direktur Utama PT Len Industri (Persero), Bobby Rasyidin dalam sebuah pertemuan dengan TrustNews. Baginya, Len telah men­jauh dari Marwah saat perusahaan didiri­kan yakni elektronika.

"Len akan kembali ke identitas perusa­haan," ungkapnya.

“Len dulu lahir sebagai perusahaan teknologi. Len lahir bersama PT IPTN, PT Inti, PT Barata dan PT Pindad. Semuanya perusahaan-perusahaan teknologi. Hanya saja dalam perjalanannya, Len lebih sibuk bermain di proyek sebagai kontraktor hingga lupa dengan marwah awal peru­sahaan," urai Bobby yang dilantik sebagai orang nomor satu di Len pada Desember 2020.

Sebagai pemain utama maupun mitra strategis dalam industri pengembangan dan aplikasi peralatan elektronika untuk pertahanan di Indonesia, lanjut Bobby, Len berada di posisi yang unik. Di saat ekonomi dunia terguncang akibat pandemi hingga minus 4 persen, justru industri pertahanan global mengalami kenaikan sebesar 3 persen.

Kenaikan ini disebabkan, setiap nega­ra di dunia mengeluarkan biaya untuk belanja pertahanan antara 1,5 -3 persen. Pengecualian negara-negara jazirah Arab biaya pertahanannya mencapai 8 persen, ini dikarenakan faktor peperangan.

"Lantas bagaimana dengan belanja pertahanan Indonesia? Indonesia di angka 1,5 persen dari GDP. Bila GDP Indonesia itu US$1 triliun, maka belanja pertahanan sebesar Rp70 triliun. Ini jauh lebih kecil di banding Singapura dan Indonesia pa-ling rendah dalam belanja pertahanan," bebernya.

Bobby yang sebelumnya tercatat seba­gai Komisaris Independen PT Garuda Main­tenance Facility Aero Asia Tbk. (GMFI), ini pun berhitung. Bahwa angka yang rasional bagi belanja pertahanan itu sebesar 1 persen dari GDP atau sekitar Rp150 triliun per tahun.

"Serapan bagi industri dalam negeri sekitar 10 persen atau sekitar Rp15 triliun sedangkan 90 persennya adalah devisa alt. Tantangan kedua, bagaimana kita tum­buh dari 10 persen (Rp15 triliun) menjadi Rp70 triliun sampai Rp80 triliun serapan­nya," ujarnya.

Sebagai informasi, Kekuatan militer Indonesia di atas didukung dengan aloka­si belanja militer. Dari data yang dihimpun Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), total anggaran militer Indonesia sejak tahun 2014 berkisar pada rata-rata 4,6 persen dari total pengeluaran negara (2014: 4,2%, 2015: 5%, 2016: 4,7%, 2017: 5,2%, 2018: 4,4%, 2019: 4,1%).

Proporsi tersebut terbilang lebih kecil bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga Indonesia, seperti Malaysia (5,3%), Filipina (5,4%), Thailand (6,5%), dan Singapura (21,3%). Akan tetapi, bila dilihat dari besaran anggaran yang dikeluarkan sejak 2014-2019, Indonesia menghabiskan rata-rata 7.656,7 juta dollar AS per tahun (kurs Februari 2021). Angka itu cukup besar bila dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran anggaran bidang militer negara tetangga, seperti Malaysia (4.059,1 dollar AS), Filipina (3.363,5 dollar AS), dan Thailand (6.307,1 dollar AS).

Dalam pandangannya, negara-negara di dunia ini terbagi dalam dua blok besar, yakni Amarika Serikat (blok Barat) dan Rusia (blok Timur). blok Barat diantara­nya Singapura, Australia, Jepang dan Korea Selatan. Sedangkan blok Timur berada di kawasan Eropa Timur. negara-negara pada kedua blok ini tidak membangun industri pertahannya, karena mendapat proteksi dari Amerika atau Rusia.

"Pertanyaannya, apakah ada negara-negara yang tidak masuk dalam kedua blok tersebut? Jawabnya ada seperti Iran, Turki dan Indonesia. Iran dan Turki mem­bangun industri pertahannya hingga man­diri. Kedua negara ini mengembangkan jet tempur sendiri, tank sendiri bahkan kapal perang sendiri," ucapnya.

"Bagaimana dengan Indonesia? Kita lupa untuk membangun industri perta­hanannya, akhirnya kita hanya dijadikan mainan kedua blok tersebut. Kita mau beli Sukhoi dari Rusia, Amerika ancam akan embargo. Begitu mau beli blok Barat, barang-barangnya dipreteli seperti kasus F-16, boleh beli tapi tidak boleh ada peluru kendalinya. Akhirnya hanya dipakai sekali saja," tegasnya.

Meski dinilai terlambat, menurutnya, membangun industri pertahanan yang mandiri penting bagi Indonesia dan memenuhi amanat Undang-Undang UU 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

"Bicara kemandirian pertahanan itu bicara undang-undang dan lebih tinggi lagi Undang-Undang Dasar. Visi dan misi negara ini sudah inline. Presiden punya visi yang luar biasa juga. Maka apapun yang terjadi, kita harus bangun sekarang. Walaupun telat, mau gak mau kita bangun," tegasnya.

Dalam membangun industri perta­hanan, Bobby menunjuk 3 pihak yang ter­libat. Yakni pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Yang kedua adalah TNI dan Polri sebagai pengguna. Ketiga BUMN sebagai pelaku industrinya.

"Ketiganya harus bekerjasama dalam merancang kebijakannya, membuat standarisasi teknologi dan mengimple­mentasikan dalam industrinya. Sedangkan negara dalam posisi menjamin apapun yang di produksi di dalam negeri, nega­ra wajib membeli. Ini di jamin undang undang," jelasnya.

Hanya saja Bobby memberikan pene­kanan bahwa industri pertahanan yang dibangun bukan lagi membuat pesawat tempur atau tank. Selain membutuhkan biaya yang sangat mahal, juga membutuh­kan perancangan yang rumit.

Apalagi dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, para­digma industri pertahanan juga harus ber-ubah yakni cyber. Sebab perang di masa depan akan lebih banyak menggunakan robot ketimbang manusia.

"Dalam membangun kemandirian pertahanannya, Indonesia harus mem­buat lompatan atau revolusi sebab per­senjataan militer masa depan itu banyak menggunakan robot. Ada Machine Learning, Artifical Intelegence, dan Big Data secara masif," tuturnya.

Dia pun menyebut pesawat nirawak (drone) dengan teknologi kecerdasan bua­tan (artificial intelligence/AI). Ini sebuah tuntutan akan skenario perang masa depan bahwa drone AI akan mencari target dan memusnahkan target tanpa perlu lagi dikontrol oleh seseorang.

"Pertempuran di angkasa itu bukan lagi pesawat tempur, perang masa depan itu pakai satelit, pakai drone, pakai kapal selam nir awak dengan kecerdasan buatan. Otak perang bukan lagi otak manusia tapi kecerdasan buatan," paparnya.

"Ini yang harus kita kembangkan dan kuasai, yaitu softwere pertahanan atau chipset kecerdasan buatan," pungkasnya. (TN)