Indonesia Darurat Industri Food Ingredients

TN, trustnews.id
Senin, 14 Juni 2021 | 12:35 WIB


Indonesia Darurat Industri Food Ingredients
Industri makanan dan minuman mengalami gap antara industri mesin, industri bahan baku dan pabrik makanan. Memilih praktis daripada mengolah sendiri dengan impor.

Dibalik makanan yang enak, ada peran mesin dan teknologi hebat dibela­kangnya”. Pepatah lama yang kerap ter­lupakan saat menikmati wafer, biskuit, saus sambel, crackers atau aneka makanan ringan lainnya.

Dalam industri makanan dan minu­man, keberadaan mereka disebut teknologi proses pengolahan makanan. Teknologi inilah yang membuat makanan ringan (snack) kapan pun, di mana pun dan jam berapa pun dinikmatinya cita rasanya selalu sama. Selain itu, tentu saja, keberadaannya mempercepat pro-ses suatu produksi dan meminimali­sir kesalahan bila dilakukan secara manual oleh manusia.

Direktur Oremco Global Mandiri, Agus Nurul Iman, mengatakan, teknologi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses produksi. Bahkan, memiliki peran sangat penting dalam memenang­kan persaingan pasar. Ini dikarenakan, keunggulan teknologi akan menghasilkan keunggulan dalam kualitas produk.

'Keunggulan teknologi tidak datang secara kebetulan, tetapi merupakan hasil dari penelitian dan pengembangan yang kemudian diterapkan," ujarnya Agus dalam percakapan dengan TrustNews.

Oremco, lanjutnya, telah melakukan penelitian dan pengembangan tekhnolo­gi sistem produksi makanan dan minu­man. Penerapan teknologi ini merupakan produk Oremco yang ditawarkan kepada pelanggan berupa alat dan mesin produk­si. "Penerapan tekhnologi mesin tersebut berbentuk unit mesin atau full production line, yang akan menghasilkan berbagai produk makanan dengan banyak keung­gulan," tegasnya.

Kehadiran Oremco, diakuinya, sete­lah melihat adanya gap di dalam industri makanan nasional. Masing-masing industri jalan sendiri, baik itu industri mesin, indus­tri makanan dan industri bahan baku.

"Padahal kesemuanya industri itu ber­hubungan erat dengan yang namanya teknologi proses. Teknologi proses ini kerap dilupakan dengan memilih jalan pintas yakni menjadi tukang campur," ung­kapnya.

"Tukang campur yang saya maksud begini, ambil contoh minuman sari buah. Lalu lihat komposisi bahan-bahannya. Ke-semuanya itu didatangkan import dari Brazil, China, India, dan lain-lain, sampai di pabrik semua bahan bahan tadi dicampur dengan air. Ini yang saya maksud, pabrik di Indonesia itu hanya menjadi tukang campur karena hanya bermodalkan air," paparnya.

Karena hanya melibatkan proses cam­pur saja , lanjutnya, perusahaan mesin nasional jadi sulit untuk berkembang. Ini disebabkan, perusahaan pembuat makanan membeli mesinnya langsung dari luar negeri dalam bentuk jadi.

"Lebih ke sisi praktis saja baik itu ran­cangannya maupun jaminannya. Jarang perusahaan besar merancang dari nol sis­tem produksinya dan jarang bahan baku yang sumbernya banyak di Indonesia dipelajari, diriset dan dikembangkan lalu digunakan sebagai bahan baku ingredients di produknya" ungkapnya.

Dia pun membeberkan data, melihat komposisi penduduk, Indonesia tercatat 270,6 juta jiwa dan China 1,398 miliar jiwa. Namun, jumlah pabrikan makanan dan minuman, kedua negara jauh berbe­da, Indonesia ada 6.000 perusahaan dan China sekitar 80.000-90.0000 perusahaan.

"80.000 pabrik tadi didukung 17.000 - 20.000 perusahaan yang memproduksi food ingredients sedangkan di Indonesia hanya sekitar 150-175 perusahaan food ingredients yang melayani 6.000 perusa­haan. Perbandingannya 1:4. Kenapa ini saya kemukakan, sebab faktor inilah yang menyebabkan Indonesia selalu impor," tegasnya.

“Pada umumnya perusahaan makanan dan minuman datang kepada perusahaan trader atau importer untuk mencari bahan baku yang mereka butuhkan, contoh dalam pembuatan biscuit atau cake dibutuhkan tepung telur, tepung telur ini merupakan food ingredients kunci dalam proses pem­buatan cake atau biscuit, dan Indonesia tepung telur ini impor!! Padahal berapa jumlah telur di negara kita, sangat banyak, maka dari itu dengan menguasai tech­nology proses dan permesinannya, telur tersebut kita jadikan tepung telur dengan teknologi spray dryer”.

“Faktor lainnya muncul adalah peru­sahaan makanan dan minuman teru­tama swasta, tentu mempunyai riset dan pengembangan tersendiri yang tentu tidak dipublikasikan, maka dari itu keunggulan dan penguasaan technologi proses dan permesinan harus dikuasai oleh perusa­haan-perusahaan pembuat permesinan dalam negeri, apabila ingin bersaing dan memberikan solusi kepada perusahaan pemakai atau pembeli mesin-mesin makanan dan minuman”

Agus Nurul Iman pun memberikan gambaran, perusahaan A punya proyek memproduksi teh segar dengan nilai Rp100 miliar. Untuk proyek ini dilakukan­lah tender dengan termin pembayaran 10 persen dari nilai proyek. Dengan termin sebesar itu otomatis hanya perusahaan manufaktur tertentu saja usaha yang bisa ikut. Ini terkait nilai kapital yang sangat besar. "Seleksi alam berlaku, perusahaan kecil dan menengah butuh modal sangat besar. Kalau tidak ya tersingkir," tandasnya.

"Inilah problem bangsa yang sebe­narnya yang harus dipecahkan bersama. Oremco mengkhususkan diri memproduksi permesinan untuk mengajak para investor mau mengolah bahan baku dari alam men­jadi food ingredients.

Contoh kita dorong investor mau me-ngolah bahan baku alam yang banyak ter­sedia di Indonesia, contohnya cabe, jagung, coklat, singkong tebu dan lain-lain, untuk di olah menjadi chili paste, tepung jagung, coklat powder & liquid, food fiber, modified starch, caramel dan lain-lain agar lepas dari ketergantungan Import," pungkasnya. (TN)