PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING BJLAS BERPOTENSI MERUGIKAN SEKTOR INDUSTRI HILIR
Rabu, 05 Mei 2021 | 14:46 WIB
Foto: istimewa
Saat ini ada 5 perusahaan industri Bj.LAS di Indonesia, yaitu PT. NS Bluescope Indonesia, PT. Sarana Central Bajatama, Tbk., PT. Java Pacific, dan PT. Tata Metal Lestari, dengantotal kapasitas produksi 1,375 juta ton per tahun. Disisi lain, ada lebih dari 300 industri dengan kapasitas produksi 4,82 juta ton yang membutuhkan Bj.LAS sebagai bahan baku produksinya. Industri pengguna Bj.LAS tersebut menyerap lebih dari 40 ribu tenaga kerja. Karena terbatasnya pasok dalam negeri, industri pengguna Bj.LAS membutuhkan impor untuk memenuhi kekurangan pasok bahan baku produksinya.
Rencana pengenaan BMAD terhadap Bj.LAS berawal dari kekhawatiran industri Bj.LAS dalam negeri terhadap tren kenaikan pangsa pasar impor pada periode 2016-2018. Hal tersebut yang menjadi dasar penyelidikan KADI, sehingga pada tanggal 12 Februari 2021, KADI menerbitkan rekomendasi pengenaan BMAD terhadap impor Bj.LAS dari China dan Viet Nam. Namun jika melihat kondisi terkini, impor menurun secara signifikan di tahun 2020, sebesar 48,2 %, di tengah pertumbuhan sektor industri baja sebesar 5,57 %. Pelaku usaha mengapresiasi kebijakan baru yang diterapkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan atas penurunan impor tersebut. Menurut Kementerian Perindustrian, Pemerintah berupaya menurunkan impor melalui pemanfaatan instrumen pengendali impor yang ada, dan menjaga keseimbangan supply-demand nasional. Pada tahun 2021, impor baja diperkirakan menurun 10-20% dibanding tahun 2020.
Sektor industri pengguna memandang bahwa rencana pengenaan BMAD terhadap Bj.LAS akan memberatkan biaya produksinya, dan lebih jauh akan berpengaruh terhadap cost pada sektor konstruksi. Produsen Bj.LAS dalam negeri dipandang belum mampu mencukupi bahan baku produksi, baik secara kualitas, kuantitas, maupun delivery time.Ditambah lagi, beberapa dari 5 produsen Bj.LAS dalam negeri juga memproduksi barang hilir, atau berafiliasi dengan perusahaan di sektor hilirnya seperti PT. Tatalogam Lestari (afiliasi PT. Tata Metal Lestari), dan PT. Kepuh Kencana Arum yang merupakan afiliasi dari PT. Sunrise Steel. “Bj.LAS saat ini hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan dimana perusahaan tersebut juga memiliki industri hilirnya sehinggaBj.LAS untuk kebutuhan industri hilir yang bukan berasal dari group mereka, dijual dengan harga yang tidak mengikuti harga semestinya dan barang yang didapatkan juga bukan kualiatas Grade A.” ujar seorang sumber yang tidak mau disebutkan namanya. “Namun demikian ada satu perusahaan yang tidak memiliki afiliasi dengan industri hilirnya, yaitu PT. NS Bluescope (selaku) petisioner (BMAD) yang merupakan PMA dimana perusahaan tersebut memiliki afiliasi di luar negeri yang memasok bahan baku Bj.LAS, yaitu Cold Rolled Coil (CRC). Kebutuhan bahan baku PT. NS Bluescope akan diperoleh dari group mereka sendiri di luar negeri dan tidak menyerap CRC produksi dalam negeri.”
Pengenaan BMAD juga berpotensi menimbulkan shortage bahan baku dan pada akhirnya berpotensi memicu praktek oligopoli oleh pelaku usaha. “Pengenaan BMAD tersebut diyakini menguntungkan segelintir perusahaan dan membentuk monopoli gaya baru dan tidak mementingkan industri hilirnya dimana kapasitas produksi yang BJLAS tidak mencukupi untuk industri hilirnya terutama industri steel rolling, masih ada gap yang cukup jauh ke depannya. Terlebih sejak 1 Mei 2021 China telah menghapus subsidi ekspor sebesar 13 %, jadi harga Bj.LAS dari China akan naik dalam waktu dekat” ujar sumber tersebut.
Sejak 1 Mei 2021 China menghapus fasilitas tax rebateterhadap ekspor 146 produk baja. Kementerian Keuangan China mengumumkan kebijakan tersebut melalui website, dan Bj.LAS termasuk barang yang dihapus fasilitasnya. China dan Viet Nam merupakan sumber bahan baku Bj.LAS impor dengan proporsi sekitar 58-85% terhadap total impor.
BACA JUGA